Di saat waktu yang bersamaan, Mama masih sibuk melayani suaminya, Imam di meja makan. Dia masih tak tenang dengan apa yang terjadi pada anaknya, Malik. "Pah, kayaknya kita harus ngomong serius soal Malik deh, Pah!"
"Kenapa lagi sih, Maa???" tanya Imam.
"Itu anak, lama-lama bisa kena mental breakdown loh, Pah, kalo kayak gini terus" cetus Mama.
"Ya Allah, Ma... Ini baru sekali kan, dia ngalamin kayak gini?"
"Iya baru sekali. Terus Papa mau nunggu apalagi? Dua kali? Tiga kali??? Atau berkali-kali???" tukas Mama.
"Anak kita itu anak laki-laki, Sayang! Dianya aja gak apa-apa kok! Jangan lah terlalu di overprotektif, jadi manja loh dia. Kasian nantinya. Dia gak bisa ngurus hidupnya sendiri!"
"Pah, Mama tuh minta supaya Malik itu dipindahin loh dari sekolah itu. Cuma itu aja kok yang Mama minta. Kekhawatiran Mama selama ini cuma di SMA Bakti Perwira! SMA yang gak ada bagus-bagusnya untuk anak kita, Paaah!" tukas Mama panjang lebar. "Papa bisa ngerti gak sih?"
"Udahlah, Sayang. Kamu gak perlu kuatir. Anak kita itu udah gede. Jadi dia pasti bisa jaga dirinya sendiri. Biarkan mereka beradaptasi. Berantem-berantem kecil, gak masalah lah, Ma. Namanya juga anak laki"
"Berantem kecil apanya, Pah? Itu tuh di gebukin! Bukan adu fisik! Papa gimana sih! Mama yang di rumah, Pah. Mama yang tiap hari ngurus anak-anak. Mama yang kepikiran kalo mereka kenapa-napa. Nilainya turun di sekolah. Ada masalah di sekolah. Atau mendapatkan perbuatan apa di sekolah"
"Tunggu tunggu tunggu" lerai Imam, "Ini dari tadi yang kita bahas cuma masalah sekolah, sekolah dan sekolah aja loh, Ma!"
Mama menghela napas.
Imam melanjutkan, "Ini sebenernya tuh masalah kamu loh, bukan masalah anak-anak! Karena omongan Mama tuh berbelit-belit ke arah sekolah, sekolah dan sekolah. Iya kan?"
"Karena Mama gak suka sama sekolah itu, Pah!" jawab Mama, ngotot.
"Gak suka???"
"Iya"
"Gak suka kamu itu gak masuk akal loh, Ma. Bakti Perwira itu sekolah yang bagus buat Malik. Papa mengerti keinginan dia, jati diri dia mau kemana, latar belakang dia seperti apa, makanya Papa masukkan dia ke SMA Bakti Perwira"
"Iya, supaya bisa jadi gay kan anaknya???" tukas Mama. "Itu yang Papa mau kan???"
"Ya terus kenapaaa, kalau dia gay, Maaa??? Itu anak kita. Biarin dia hidup, berkembang dengan jati dirinya, tanpa harus kita paksakan kehendaknya. Gak perlu harus kita stir jati dirinya, gak perluuuu! Cukup kita kasih motivasi dan bimbingan aja. Kasih tau mana yang boleh di lakukan, mana yang gak boleh kalau dia mau jadi seorang homoseks. Support dia. Beri dukungan moral! Kalo gak gitu, justru kita sebagai orang tuanya yang malah bikin mental dia jadi turun. Illnes, right?" ujar Imam panjang lebar.
"Oke, soal jati diri. It's okay, gapapa. Tapi bisa gak, Malik kita pindahin aja sekolahnya?"
Imam menatap istrinya dengan heran. Dia memijit-mijit batang hidungnya karena pusing. Lalu dia berujar lagi pada istrinya, "Okay, sekolah kan???"
"Ya!"
"Kamu mau Malik pindah sekolah?"
"Yes, of course!"
"Oke kita pindahin! Kamu mau dia pindah kemana?"
"Terserah. Sekolah terbaik juga gak masalah. Asrama juga terserah"
"Oke. Asrama! Singapore! Setuju?"
"That is pretty good one! Why not!"
"Tapi sebelumnya, Mama tolong jawab pertanyaan Papa" cetus Imam.
"Apa???" tanya Mama.
Imam menatap istrinya dengan saksama, lalu dia bertanya dengan penuh keseriusan di wajahnya, "Kenapa... anak-anak, Mama sekolahin setahun lebih awal, sebelum waktunya mereka bersekolah seperti seharusnya???"
Deg. Jantung Mama seakan berhenti ketika ditanya seperti itu oleh suaminya. Tentu saja di balik pertanyaan Imam barusan, ada sesuatu yang terselubung pada jawaban terjujur yang akan disampaikannya. Terlebih itu pada salah satu anak di antara Mario dan Malik.
Mama gelagapan. Matanya mondar-mandir bak mencari alasan. Namun Imam bagai melihat gelagat istrinya yang begitu mencurigakan tersebut. Aneh.
Terasa sekali bahwa wanita ini memiliki berbagai rahasia besar dalam sirat matanya yang indah dan menipu.
"Ayo di jawab, Ma. Satu aja jawaban jujur dari Mama, maka Malik akan Papa pindahkan ke sekolah terbaik di Singapur!" ujar Imam.
Mama dan hatinya yang bergejolak, seakan penuh dilema dengan pertanyaan suaminya tersebut. Di satu sisi, dia akan mendapatkan kesempatan besar untuk memasukkan Malik ke sekolah berpendidikan khusus dan terbaik di luar negeri. Namun di sisi lain, dia juga tidak boleh mengatakan yang sejujurnya, tentang masa lalunya yang begitu kelam dan penuh dendam. Terlebih pada keluarga Arzafka.
"Ma!"
"Karena Mama cuma ingin anak kita lebih cepat menempuh masa pendidikannya, Pah. Kita ini kan sudah sama-sama makin tua. Usia terus tumbuh. Jadi bukankah lebih cepat kalau mempercepat usia pendidikan mereka. Agar kita juga gak terlalu tua untuk melihat anak-anak kita bahagia kelak, Pah. Itu aja!" tutur Mama. Berharap semoga suaminya percaya dengan tipu katanya.
Imam menatap istrinya dengan penuh keraguan, tapi dia memilih menetapkan kepercayaannya pada istrinya tersebut. Toh selama ini, ia senantiasa hormat dan patuh kepadanya, juga segan menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. "Oke. Singapore. Papa akan pikirkan lagi matang-matang" ujar Imam seketika.
"Yang bener, Pah?" ulang Mama, antusias.
"Iya. Sesegera mungkin. Biar Mama bisa seneng kan, ngurus satu anak aja!"
"Iiih, gak gitu, Papaaahh. Cuma ingin yang terbaik aja buat Malik. Dia kan lebih pintar dari kakaknya. Makanya sayang aja, kalau dia gak bisa menempuh pendidikan terbaik. Kan buat masa depannya juga, Pah!"
"Iya iya. Ya udah, kalau gitu Papa berangkat dulu ya!" ujar Imam.
"Iya, Pah"
"Oh iya, jangan lupa loh, nanti malem! Acara launching resto kita"
"Iya, Pah. Siap"
"Yaudah, Papa pamit. Assalamualaikum..."
"Kum salam" ujar wanita itu. Sejurus dia turut tersenyum begitu keinginannya itu diwujudkan oleh suaminya.
~
Setelah sempat geram pada Aidan, dan pamit pada Malik, Mario pun turut keluar dari kelas itu dengan wajah yang sebal. Dia bahkan tak sengaja menabrak tubuh seorang siswa sampai buku-buku yang dipegangnya jatuh ke lantai koridor. Brak."Hoooohhh, bisa pake mata gak sih hah???" protes Mario.
Sementara yang ditabrak tidak membalas protes sama sekali. Dia mengambil buku-buku yang berserakan di lantai tersebut.
Sialnya, sikapnya malah membuat Mario menjadi merasa bersalah. Jelas dia yang salah, toh dia yang asal melengos sampai menabrak. Dia pun membuang napasnya dan membungkuk, membantu lelaki itu merapikan buku-bukunya. "Sorry ya, gue dongo banget. Gue yang salah, gue yang emosi. Jatohnya malah marah-marah ke elo deh" kata Mario.
Dali tersenyum, "Gapapa kok. Ini salah gue juga, gak ati-ati"
Baik Mario dan Dali berdiri bersamaan. Mario seketika bergeming, menatap wajah Dali dengan penuh terpesona. Gila, imut banget nih anak. Ganteng, gak emosian pula.
"Lo pasti bukan dari sekolah sini ya?" tanya Dali.
Mario tak menjawab, dia masih tersenyum, terkesima memandang wajah Dali.
Dali sendiri pun turut kebingungan dna terheran-heran oleh sikap cowok satu ini. Hingga Dali seketika melotot dan tercekat melihat sesuatu yang salah dari wajah Mario.
Darah segar mengucur pelan, mengental keluar dari lubang hidungnya. "I-itu... hidung lo... berdarah!"
Mario menyeka hidungnya seketika, lalu dia pun menyikapinya dengan santai dan tenang. Dia bahkan tertawa kecil dan menjawab, "Oh, gapapa. Penyakit gue emang gini kalau liat cogan!"
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK ON YOU 3 (END 21+)
RandomWARNING!!! : LGBT CONTENT (21+) CERITA MENGANDUNG KALIMAT KASAR DAN TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK DIBACA OLEH DIBAWAH UMUR DAN JUGA HOMOPHOBIA. Dilahirkan dengan penuh perjuangan, segala penantian dan pengorbanan akhirnya berhenti disaat Aidan Tawakkal...