Chapter 47

859 124 73
                                    

"Gila! Keterlaluan banget sih Pak Arkan! Sampe lupa sama anak sendiri! Marah sih, marah. Tapi ya gak sampe ngusir juga kan" ujar Hema, tak menyangka setelah mendengar cerita dari Julian.

Robert duduk tertunduk layu di sofa itu. Merasa tak berdaya. Tak tahu harus berbuat apalagi. Seluruh dayanya telah habis seketika. Dia merasa bodoh dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia tidak pernah berada di titik serendah ini.

"Ya itu juga karena si anak kandung gadungan itu, Mas! Papah jadi kehasut! Belum lagi ditambah sama..." Julian berhati-hati berkata, "V-video itu"

Hema menatap Robert yang lesu sebentar. Kemudian dia menghela napasnya, "Udah pokoknya kalian bertiga tinggal dulu aja disini. Biarin Pak Arkan nenangin dirinya sendiri, begitu juga dengan kita. Khususnya Arsen, karena kamu juga lagi hamil kan" ujar Hema.

"A-apa... sebaiknya Arsen sama Bang Yayan tinggal aja dulu di rumah Bang Yayan, Mas? Supaya kami gak terlalu merepotkan Mas Baik juga" ujar Arsen.

"Arsen... sebelum kamu pulang ke rumah Pak Arkan lagi. Kamu dan Julian masih tanggung jawab saya! Ngerti???" cetus Hema.

Arsen menganggukan kepalanya. "Makasih Mas Baik"

Hema manggut-manggut, memasang senyuman manisnya. Di rumah itu hanya ada ia, Robert, Arsen, Julian dan juga Aidan. Yang lainnya sudah lebih dulu pulang sebelum Arsen datang.

Lalu Robert pun bangkit dari duduknya. Dia keluar menuju halaman rumah Hema. Sejurus Hema menyusulnya dan menghentikan langkah Robert. "Bert, Bert! Kamu mau kemanaaa??? Ini udah malem!"

Air mata Robert jatuh berlinang, tangisnya pecah. Dia sudah tidak mampu lagi menahannya. "Saya bodoh banget jadi manusia, Mas! Saya... saya gagal melindungi keluarga. Menjaga keutuhan rumah tangga. Juga melindungi anak-anak! Saya merasa gak pantes ada di dunia ini, Mas! Ini merupakan hari terberat bagi saya!"

"Enggaaaak! Hey hey hey, liat aku, Bet!" Hema menyentuh dagu Robert. "Hari ini. Malam ini. Bukan malam terberat buat kamu aja, Bet! Tapi buat kita semua! Semua usaha kita gagal! Sia-sia! Karena Pak Arkan yang gak percaya lagi sama kita!"

Robert menitihkan air matanya.

"Ini memang kegagalan kita semua, Bert! Bukan cuma kamu aja! Kita semua! Terlebih Arsen! Tapi liat dia! Dia tegar banget menghadapi ujian hidupnya, Bert! Masa kita yang tua kalah sih sama dia???" tukas Hema.

"T-tapi dia kan punya Mas Julian, Mas Hema" bantah Robert.

Hema tersenyum memandang wajah Robert. "Tapi kan gue punya elo, udiiiikkk"

Robert membalas tatapan itu dengan lemah dan lembut.

"Sampai kapanpun. Mau lo udah punya suami! Mau lo punya dua, empat, lima atau seratus suami lagi pun...! Gue tetep punya elo, Bet!!!" tegas Hema. "Gue tetep punya elo!!! Lo denger itu baik-baik! Gue... tetep punya elo!!! Walaupun lo gak nganggep gua, walaupun kita terbatasi oleh jarak dan orang lain, gue gak peduli, Bet! Gue tetep punya elo!!! Yah???"

Robert manggut-manggut dengan isakan tangisnya.

"Gue tetep punya elo, walaupun elo bukan punya gue!" tandas Hema.

Robert langsung memeluk Hema dengan erat. Dengan tangisnya yang penuh derai. Dengan rasa syukur dan kebanggaannya akan sisi Hema. Dia tidak menyesal selama ini menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Nyatanya Hema sudah lebih dari apapun di dunia ini untuknya. "Terima kasih, Mas... Terima kasih..."

Hema mengangguk, "Iya, Bert! Lo yang kuat ya, Bert! Lo yang tegar! Kita ambil aja hikmahnya dari masalah ini. Gue jadi bisa liat elo... liat Arsen... liat Julian dan Aidan... lebih lama lagi"

Robert manggut-manggut.

"Senyum dong. Biar udik gua tambah ganteng lagi nih!" Hema menghapus air mata Robert dengan tangan lembutnya.

Robert tersenyum dengan penuh arti.

Arsen sejak tadi melihat pemandangan itu. Pemandangan Hema dan Robert dari balik jendela. Lalu Julian turut berdiri di sisinya. "Ka-kamu... gapapa, Sen???" tanya Julian seketika.

"Hmm???" tanya Arsen, sedikit terkesiap.

"Kamu... gak suka ya, liat kedekatan mereka, Sen? Sedikit banyak melukai hati kamu, karena Buper itu... masih jadi pendampingnya Papah" ujar Julian.

Arsen menghela napasnya. "Arsen cuma nyesel, Bang..."

"Nyesel??? Nyesel kenapa???" tanya Julian.

"Nyesel karena ternyata bahagianya Buper itu bukan di Daddy! Tapi di Mas Hema. Arsen selama ini tuh terlalu buta, terlalu tolol, bego! Sampe gak bisa nemuin rahasia hati Buper selama ini! Dia pasti selama ini tersiksa menahan rasanya, Bang! Bertahun-tahun! Sampe dia harus nikah sama Daddy! Arsen maksa-maksa dia, minta dia untuk nikah sama Daddy. Arsen..."

"Ssshhhh... udah lah, Sayaaaang... gak ada yang perlu di sesalin dari semua ini! Memang begini jalannya, Sen! Udah dari jalan Tuhan kayak begini! Kita harus bisa terima dengan ikhlas. Pasrah! Agar semuanya berjalan sesuai kehendakNya, Sen. Jadi gak ada yang perlu di sesalin. Oke, Sayang?" tukas Julian.

Arsen pun mengangguk, lalu menjatuhkan kepalanya pada dada Julian.

~

Esoknya, meja makan di rumah besar itu terasa sunyi. Biasanya suasana terlihat ramai dan bersahaja, tapi berbeda kali ini.

Biasanya ada Robert yang selalu mengatur porsi makan Tuan Arkan, tapi kali ini tidak lagi. Beliau merasa gamang sendirian.

Biasanya ada tawa jahil dan usil Arsen pada Julian, tapi kali ini tidak lagi ada.

Mereka semua mungkin tengah merasa jera di rumah Hema. Atau malah mungkin sedang tertawa bahagia karena telah terbebas darinya.

Rasanya tidak nyaman makan hanya berdua dengan Afkar seperti ini. Beda, sekali. Afkar juga tidak pernah menawarkan atau menuangkan menu lain di meja itu padanya. Berbeda dari Arsen yang selalu siap kapan saja melayani Ayahnya jika Robert sedang tidak ada.

Ah, mungkin memang karena Afkar belum terbiasa dengan didikannya dari usia dini. Makanya Afkar juga kurang peka terhadap hal-hal perhatian kecil seperti itu.

"Mmm... Afkar... kalau lagi makan seperti ini. Mulai sekarang biasakan ya, tanya Ayah mau makan apa. Atau mau tambah lauk apa. Atau juga bisa tuangin minum sama Ayah" tutur Tuan Arkan.

Afkar tersenyum seketika, lalu perlahan senyumannya menjadi tawa. "Yang bener aja deh, Yah! Geli banget deh" cetusnya.

Tuan Arkan mengernyitkan keningnya, heran dengan sikap Afkar. "K-kamu kok jawabnya seperti itu sih, Nak??? Justru Ayah tuh ingin mengajarkan kamu soal tata krama di rumah ini, Sayang"

Afkar menatap geli pada Tuan Arkan. "Yah! Aku ini bukan si Robert! Bukan istri Ayah juga! Jadi buat apa aku ngelakuin itu??? Lagian kan ada pembantu! Banyak lagi di rumah ini! Masa harus aku juga?"

"Tapi kan kita ini satu meja, Kar. Jadi sudah sewajarnya anak melayani Ayahnya dengan baik" tutur Tuan Arkan.

"Melayani dengan baik gimana??? Timbang makan sama minum ambil sendiri aja, pake acara ambilin segala! Ya nuangin minuman lah. Emangnya Ayah ini gak punya tangan sama kaki sendiri, apa??? Kecuali Ayah ini cacat! Baruuu! Tuh, aku layanin!" cetus Afkar.

Tuan Arkan terpelongo dengan kalimat anak kandungnya barusan. "Astaghfirullah al-adziiimm..."

"Udah ah! Jadi gak nafsu makan deh jadinya! Aku berangkat kantor dulu!" Afkar pergi melengos tanpa salam tanpa cium tangan. Dia pergi meninggalkan Tuan Arkan sendirian di meja makan itu.

Tuan Arkan menopang kepalanya dengan tangannya di meja. Dia benar-benar heran dengan sikap Afkar padanya. Namun sekali lagi, dia mencoba memakluminya. Memaklumi sikap Afkar yang mungkin memang lebih dewasa dibandingkan Arsen. Dia maklum Afkar malu untuk melakukan itu padanya. Tuan Arkan berbesar hati dan berpikiran positif. Dia melanjutkan sarapannya.

TO BE CONTINUED

STUCK ON YOU 3 (END 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang