49. Ternyata

21.2K 2.3K 484
                                        

Pepatah mengatakan, musuh dalam selimut lebih mengerikan dibanding musuh depan mata.

***

Disclaimer: Banyak omongan kasar di part ini.

“Batu banget jadi orang,” ujar Ray sambil menendang laki-laki yang dilaporkan Vian merupakan pelaku penulisan surat ancaman untuk Bulan.

BUGH!

Horas menendang laki-laki sekelas dengan Bulan yang diketahui bernama Hans. Horas menjambak rambut laki-laki yang sudah terkapar lemas di tanah itu dan memberikan pukulan kuat di kepalanya.

“Ngapain lo nulis surat-surat ancaman itu untuk Bulan?” tanya Horas.

Hans tak membalas. Entah itu keberapa kalinya pertanyaan itu ditanyakan padanya, tetapi Hans tetap tidak mau menjawab.

“Lo jangan bikin gue kesel deh!" seru Figo. Dia benar-benar geregetan sendiri. Padahal kondisi Hans sekarang sudah habis babak belur dipukul, tetapi dia tetap menutup mulut rapat-rapat.

“Tapi gue bingung deh. Yang gue tau, Bulan gak pernah dekat sama cowok-cowok di kelasnya. Menurut gue aneh aja kalau dia nulis surat begituan buat Bulan,” ucap Doel.

“Jangan bilang suruhan?” ujar Ray. “Tapi suruhan siapa?”

Horas menginjak punggung Hans. “Lo disuruh siapa?”

Hans meringis ketika Horas menekan kaki di atas punggungnya. Laki-laki itu sudah sangat lemas.

Aksara hanya menyaksikan pekerjaan teman-temannya dari belakang. Sejujurnya ia ingin turun tangan, tetapi Aksara masih memberikan kesempatan Hans untuk mengakui segalanya.

“Sa, tiga nomor yang neror Bulan, apa salah satunya dia?” tanya Kevin dari samping Aksara. Laki-laki itu juga tidak turun dalam perkelahian itu.

Aksara baru teringat. “Yan, ambilin HP-nya,” suruh Aksara.

Vian hendak mengambil ponsel dari saku celana abu-abu Hans, namun Hans menahannya. Vian memukul tangan Hans. “Lepas!”

Vian mendapatkan ponselnya, lalu menyerahkannya pada Aksara.
Aksara membuka aplikasi berwarna hijau. Ia mengecek nomor Hans dan membandingkannya dengan tiga nomor yang meneror Bulan.

Aksara mengigit pipi dalamnya. Ia tersenyum remeh. Ternyata benar nomornya adalah salah satu dari tiga nomor yang meneror Bulan. Aksara membanting ponsel itu ke tanah hingga terbelah menjadi dua. 

Aksara maju. Ia menarik paksa Hans untuk berdiri. Aksara mencengkram kerah seragam Hans. Jika tanpa cengkraman dari Aksara, Hans pasti tidak akan bisa berdiri sangking lemasnya.

“Gue tanya sama lo. Apa ini kerjaan lo atau lo disuruh? Kalau ini kerjaan lo, untuk apa lo lakuin ini? Kalau ini suruhan, siapa yang suruh lo?” tanya Aksara dengan suara rendah, tepat di depan wajah Hans.

Menunggu lama, Aksara semakin tidak sabar dengannya. Aksara memukul pipi Hans. “JAWAB!”

Hans berteriak kesakitan. Tubuhnya benar-benar mati rasa dibuat Aksara dan teman-temannya. Jika saja Hans tidak sedang melindungi sesuatu, ia tak akan mau tutup mulut. Lebih baik ia mengaku semuanya dan urusan selesai.

Aksara melayangkan pukulan bertubi-tubi ke Hans. Aksara menyalurkan semua amarahnya. Sudah cukup waktu yang ia berikan untuk Hans mengaku baik-baik, tapi laki-laki itu seperti menganggap remeh Aksara.

BRUKK

Tubuh Hans jatuh ke tanah. Ia sudah kehilangan kesadaran dan terkapar di tanah.

“Eh mampus lo anak orang mati,” ucap Doel. Doel menyenggol kepala Hans dengan kakinya. “Woi? Lo mati?”

AKSARA (PRE-ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang