19

5.9K 638 63
                                    

Bel pulang sudah berbunyi, tapi Ara masih betah duduk di kursinya.
Fiony menahan bahu Mira yang hendak mendekati Ara, ia memberi isyarat agar Mira memberikan Ara ruang untuk sendiri dulu.

"Tapi Fio, gue gak tega" ucap Mira dengan nada berbisik.

"jangan sekarang Mir"

"Tapi.."

Fiony menggelengkan kepalanya, ia tetap meyakinkan Mira agar membiarkan Ara sendiri. hingga akhirnya Mira lebih memilih untuk menuruti perkataan Fiony dan pergi membiarkan Ara sendiri. 

Dan Ara masih terdiam, sejak tadi ia hanya menatap bangau kertas berwarna biru di tangan nya, ia mulai ingat, Bagau kertas itu mengingatkan nya pada sahabat kecilnya dulu.
Sama-sama harus tinggal di rumah sakit karena penyakit yang berbeda dan mulai bersahabat sejak saat itu. Tapi Ara lupa dengan wajahnya, setidaknya bagau kertas di tangan nya ini sedikit bisa mengobati kerinduan nya. Namun itu tak bisa sepenuhnya membuat suasana hatinya membaik.

"Aku tau aku egois kak, aku takut menentang Tuhan, tapi aku ga bisa terus terang sama kamu karena aku takut kehilangan kamu"

Ara menunduk lemas, sudah cukup ia menahan air matanya sejak tadi, sekarang ia hanya sendiri dan tanpa di minta, pertahanan nya pun hancur seketika, air matanya seolah tak mau untuk berhenti.

"aku cuma takut kak, Fiony bener.. kita itu salah" 

****

"Rumah kita kan deket, kamu bareng aku aja ya Mir"

"eh.. gapapa nih?"

"iyaa.. eh, kamu duluan masuk ke mobil ya, aku ada urusan bentar, bilang aja ke supir aku kalau kita pulang bareng" ucap Fiony.

Mira hanya mengangguk dan pergi lebih dulu menuju mobil Fiony, sementara sejak tadi pandangan Fiony fokus pada Chika yang sedang berjalan menuju mobilnya.

Fiony sedikit berlari untuk mengejar Chika, bagaimanapun juga ia harus bertanggung jawab karena ia ikut terlibat dalam pertengkaran kakak beradik itu.

"Kak Chika!"

Chika menghentikan langkahnya dan berbalik, matanya langsung menatap jengah Fiony yang kini menghampirinya.

"Kenapa ninggalin Ara? dia masih ada di kelasnya?" tanya Fiony.

"aku lagi ga mau liat wajahnya"

"tapi bibir Ara luka"

"kamu pikir luka dia sebanding dengan sakit hati yang aku rasain?"

"ini salah aku, aku tau hubungan kalian dan aku ga bisa biarin itu, Ara sahabat aku kak.. aku peduli sama dia"

Chika bertepuk tangan di depan wajah Fiony, ia tersenyum sinis pada adik kelas nya ini.

"cara peduli kamu emang harus pake bibir ya?" bisik Chika tepat di telinga Fiony.

"peduli dan Cinta itu bedanya tipis" ucapnya lagi.

Tubuh Fiony menegang, ia benar-benar terasa tertampar oleh kata-kata Chika.

Chika langsung masuk kedalam mobilnya dan berlalu begitu saja.
Fiony masih terdiam, kata-kata Chika terus tergiang di kepalanya.
Dari kejauhan ia bisa melihat Ara yang tengah berjalan dengan tas yang di gendong di sebelah bahunya, sahabatnya itu tampak sangat berantakan, bahkan darah di sudut bibirnya pun terlihat mengering dan tetap dibiarkannya tanpa di obati.

Ara langsung berbalik saat ia melihat Fiony, tapi hal itu justru membuat Fiony berlari untuk mengejarnya.

"Ra.." Fiony berhasil menahan tangan Ara namun dengan kasar Ara menghempaskan nya.

"kamu boleh marah sama aku tapi setidaknya biarin aku obatin dulu luka kamu"

"aku bisa sendiri, aku  lagi ga pengen marah, aku lagi bener-bener cape, jadi tolong jangan ganggu aku"

ucap Ara, dan untuk kedua kalinya Fiony ditinggalkan begitu saja, terselip rasa sakit di hatinya ia jadi merasa takut, takut jika ternyata apa yang dikatakan Chika tentang perasaan nya pada Ara itu benar.

****

"jadi Ara ga disana Bun?"

"......"

"oh mungkin sebentar lagi pulang, nanti Chika kabarin Bunda ya kalau Ara udah pulang"

Chika terlihat gelisah, hari sudah semakin malam dan ia tak tau dimana Ara saat ini. 
Tak tahan menunggu terlalu lama, Chika langsung meraih kunci mobil dan jaketnya lalu pergi untuk mencari Ara.

"kemana sih!" Chika terlihat kesal, ia kesal karena tak kunjung menemukan Ara sementara waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.

Sementara itu Ara yang sejak tadi dicari-cari tengah tertidur di atas rerumputan di depan danau, tempat yang selalu jadi favoritnya jika ia sedang dalam keadaan sedih.

"gue mau mati!!"

Ara langsung terbangun saat mendengar suara teriakan yang cukup keras, Ia membulatkan matanya saat menyadari sekitarnya ternyata sudah gelap.

"lah, udah malem, ssshh.. aduh pusing" ucap nya, sejak tadi sore Ara hanya menangis hingga tak sadar jika ia ketiduran sampai semalam ini.

Ara berdiri dan mencoba mengfokuskan pandangan nya, ia melihat seorang perempuan berambut panjang tengah berdiri di bibir danau.

"kenapa semuanya ga adil buat aku!!"
ucap orang itu .

Ara mencoba menghampiri perempuan itu, langkahnya sangat berhati-hati ia takut jika sosok di hadapan nya itu adalah hantu atau semacamnya.

"Cio aku benci kamu!!" wanita itu melangkah semakin maju hingga lututnya terendam oleh air danau.

Ara membulatkan matanya, ia yakin jika wanita itu akan bunuh diri.
Dengan cepat ia berlari dan menarik tangan wanita itu.

"Lepas! siapa kamu!" ucap wanita itu.

Walaupun terus meronta tapi Ara tetap saja menarik perempuan itu untuk naik kedaratan.

Ara menghempaskan tangan nya dengan kasar saat mereka berdua sudah berada di atas, ia marah bahkan benci pada orang-orang yang ingin mengakhiri hidup nya seperti ini.

"Lo gila hah!, lo pikir dengan bunuh diri semua masalah bisa selesai! yang ada lo bakalan ngecewain banyak orang!"

perempuan itu menangis, sementara Ara masih berusaha mengatur kembali emosinya.
Tubuh mereka sudah sangat basah saat ini.

Ara berjongkok ia menatap sosok perempuan di hadapan nya ini, walaupun  tidak terlalu jelas karena penerangan yang ada hanya berasal dari lampu taman saja.

"maaf kak, ayok aku antar pulang" kali ini Ara berucap lembut, berharap wanita ini bisa sedikit merasa tenang.
Tapi wanita ini hanya menggelengkan kepalanya dan tetap menangis.

Ara mengcengkram erat bahu wanita itu, ia menatap serius kearahnya.

"dengerin! kita kesini karena masalah kita masing-masing, jadi aku bisa paham kondisi kakak, tapi apapun yang lagi kita alami, aku yakin pasti ada solusinya, kita cuma perlu bersabar"

"aku hamil di luar nikah, dan pacarku pergi gitu aja, bahkan aku diusir dari rumah, jadi apa yang harus aku tunggu? aku bersabar untuk apa? bahkan dunia seakan jadi musuhku saat ini"

Ara terdiam, ingin ia menceritakan masalahnya yang bahkan menurutnya lebih rumit, setidaknya wanita ini masih bisa berjuang untuk cinta nya berbeda dengan ia dan Chika yang harus mengubur semua perasaan mereka.

Ara memeluk wanita itu, ia tak berbicara apa-apa selain hanya mengeratkan pelukan nya. ia paham disituasi seperti ini terkadang hanya pelukan yang kita butuhkan.

Sementara itu Chika masih saja berusaha mencari Ara. pikiran nya sangat kalut saat ini.
Ia benar-benar merasa bersalah telah meninggalkan Ara disekolah.

"Ya tuhan, Araa kamu dimana?"

Chika melirik sekilas kearah jam tangan nya, waktu sudah menunjukan pukul 10 dan ia masih saja tak bisa menemukan Ara.

"Araa, angkat dong telepon nya.. kamu...  aaaaakkh!!"

Braaaakkkk....

****

Pelangi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang