Ara berjalan menyusuri lorong tak tau kemana arah tujuan nya, tatapan nya kosong, entah apa yang sedang ia pikirkan, ia hanya berjalan mengikuti kemana kakinya akan pergi.
Ara menoleh kearah ruang anak, ruangan tempat ia dan Fiony dulu di pertemukan. Satu persatu memorinya dulu berputar, ia seperti sedang menonton sebuah film yang memperlihatkan dirinya dan Fiony dulu.
Ara yang selalu mengeluhkan jantungnya sakit hingga tak bisa terlalu lelah selalu aja di ganggu oleh Fiony yang selalu ceria, bahkan Ara dulu merasa jika Fiony sama sekali tak terlihat sakit hingga suatu ketika ia sendiri melihat Fiony yang kejang berteriak kesakitan dan disaat itu ia tau jika sahabatnya itu memiliki penyakit yang sangat parah.Ara duduk di sebuah kursi berwarna putih, tangan nya memegang sebuah bagau kertas berwarna pink yang sudah bercampur oleh noda darah.
"aku ga tau harus kayak gimana Fio, kenapa semua harapan yang kamu tulis di bangau kertas itu hanya harapan untuk aku" Ara mengusap kasar air matanya, bahkan kini ia menangis layaknya seorang anak kecil.
"Ara.." Shani yang sengaja mencari Ara memanggilnya dengan hati-hati, ia terkejut melihat Ara yang menangis seperti ini.
Ara bangkit tapi kepalanya masih menunduk, sengaja menyembunyikan wajahnya, lalu ia berdiri tepat di depan Shani.
"Ra.."
Ara tak memeluk Shani, ia hanya menyandarkan kepalanya pada bahu Shani.
"Aku takut" Ara berucap lirih, bahkan Shani dapat merasakan pundaknya yang mulai basah oleh air mata Ara.
"Aku.. takut kak"
Shani tak tahan lagi, ia meraih tubuh Ara kedalam pelukan nya.
"Kita sama-sama tau kalau Fiony anak yang kuat, kamu percaya kan Ra?"
Ara tak berucap apapun, ia hanya bisa menangis, ia benar-benar takut kehilangan sahabat kecilnya.
Shani melepas pelukan nya, ia menghapus air mata Ara dengan ibu jarinya lalu tersenyum, berharap semua ketakutan di pikiran Ara dapat hilang walaupun tak bisa di pungkiri jika saat ini ia pun sama takutnya.
Tanpa mereka sadari dari kejauhan Cio tengah menperhatikan mereka sejak tadi.
"Anak itu kenal Shani?" gumam nya, awalnya ia hanya ingin melihat kondisi Chika dan Ara, ia ingin memastikan jika keduanya dalam keadaan baik-baik saja seperti janjinya pada Aya, namun hal yang tak terduga pun bisa ia lihat saat Shani menghampiri Ara.
Cio hendak mengikuti Ara dan Shani tapi tiba-tiba handphone nya berdering dan tertera nama Gito disana.
"orang ini, ada apa lagi sih"
****
Chika menutup bukunya, semejak dirumah sakit ia tertinggal banyak sekali pelajaran dan mwngharuskan nya belajar lebih giat agar tak terlalu banyak tertinggal.
Chika menyimpan beberapa bukunya diatas nakas lalu menatap kakinya yang masih terbalut perban."harusnya aku bisa jaga Ara, bukan malah ga bisa ngapa-ngapain disini" ucap nya.
Chika mencoba menggerakan kakinya namun ia meringis menahan sakit.
"ayo Chika, kalau ga di coba kamu ga akan bisa sembuh cepet" ucapnya lagi mencoba menyemangati diri sendiri.
Chika tetap berusaha menggerakan kakinya hingga akhirnya ia bisa merubah posisinya menjadi duduk, Kini tinggal ia belajar untuk berdiri.
Dengan perlahan, Chika mencoba untuk berdiri namun karena kaki kanan nya yang terbalut perban belum terlalu kuat, tubuh Chika menjadi tak seimbang hingga hampir terjatuh, beruntung Ara datang di waktu yang tepat dan langsung meraih tubuhnya.
"mau ngapain sih!"
Chika meringis, sedangkan Ara terlihat marah saat ini.
"Aku lagi belajar jalan"
Dengan susah payah Ara berhasil membuat Chika kembali duduk di samping ranjang.
"ada waktunya, tapi ga sekarang, ga usah nekat deh" ucap Ara, ia tak habis pikir dengan Chika yang terlalu memaksakan diri.
"Sebagai kakak aku harusnya bisa rawat kamu, bukan sebalik nya, aku cuma ngerasa... tunggu.. jaket kamu kenapa banyak noda darah gini?"
Ara melirik kearah jaketnya, noda darah di jaketnya memang cukup banyak jadi bisa dengan jelas Chika melihat nya.
"kamu berantem lagi?"
"ini darah Fiony, dia jatuh dan kepalanya berdarah, sekarang dia masih di rawat"
Chika menatap Ara yang langsung berubah sendu saat menyebut nama Fiony.
Chika menangkupkan kedua tangan nya di pipi Ara lalu tersenyum.
"Dia pasti baik-baik aja, jangan terlalu khawatir"
Ara mengangguk lemah lalu memeluk erat tubuh Chika, ia teramat sangat lelah kali ini, banyak hal tak terduga yang telah menguras seluruh energi nya.
Dengan lembut Chika mengusap rambut Ara dan sesekali menghirup wangi rambut Ara yang sudah lama ia rindukan.
"kenapa orang-orang yang aku sayang sakit semua, sedih tau ga liat kalian sakit" ucap Ara.
"kalau gitu, kamu yang harus kuat"
Ara melepaskan pelukan nya, ia tersenyum kecil menatap Chika.
"kamu keliatan cape banget" Chika mengusap keringat di kening Ara dengan lembut.
"iya, aku lagi ngerasa cape"
Chika menggeser tubuhnya, lalu kembali merebahkan badannya, lalu menepuk kasur di sebelahnya.
"sini, tidur" ucap Chika.
Ara sedikit ragu, ranjang ini tak cukup luas untuk mereka berdua, tapi tubuhnya benar-benar lelah saat ini.
Akhirnya Ara pun naik dan merebahkan tubuhnya di samping Chika."Ra.."
"hmm.."
Tak ada jawaban lagi dari Chika hingga Ara menoleh kearahnya dan mendapati Chika yang hanya terdiam.
"kenapa..? "
"Aku.. boleh ga denger detak jantung Christy" pinta Chika dengan sangat hati-hati, ia takut jika Ara kembali berfikiran yang tidak-tidak.
Tapi ternyata Ara mengangguk, ia menggeser tubuhnya agar Chika bisa memeluknya dan mendengar langsung detak jantung Christy.
"maaf.." ucap Chika.
"kenapa minta maaf?"
"Aku sayang banget sama Christy, dia yang ada disaat aku kesepian dulu, mingkin sekarang rasa sayang nya ga sebanding dengan rasa sayang aku ke kamu tapi aku mohon jangan marah setiap kali aku merindukan nya"
Ara tertawa pelan, walaupun terkadang ia merasa cemburu pada Christy tapi ia sangat paham dengan perasaan Chika, sebagai adik kandung nya, Ara tak bisa menemani Chika saat itu dan ia seharusnya berterimakasih pada Christy.
"Sayangi aku seperti kaka sayang sama Christy, jangan pernah lebih" pinta Ara, berat memang ia mengucapkan hal itu tapi memang sudah seharusnya Chika hanya menyayanginya layaknya seorang kakak pada adik nya, tidak lebih.
"aku tau, kita itu sama dan ga akan ada ruang buat hubungan seperti itu, tapi aku ga bisa cegah perasaan aku sendiri, kamu tau kan"
Ara memejamkan matanya, dalam hatinya ia berteriak jika masalahnya bukan hanya itu, tapi lagi-lagi Ara terlalu takut, takut jika dengan hal itu Chika akan menjauhinya dan Ara tak akan pernah siap untuk itu.
Samar-samar Ara mendengar nafas Chika yang teratur, Chika ternyata sudah terlelap dengan berbantalkan dadanya, Ara masih setia mengelus lembut rambut Chika, mencoba menetralkan sara perih di hatinya setiap kali ia ingat posisi dia seperti apa di hidup Chika.
"Ampuni aku Tuhan"
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi
FanfictionAra ingin menjadi pelangi dihidup Chika tapi ia lupa memberi warna untuk hidupnya sendiri [Fiksi] 18+ gxg