DUA PULUH DELAPAN

9.8K 878 102
                                    

🌹Happy reading🌹

🌺Author Pov

Hingga senin subuh, pembalut yang digunakan Amanda sejak semalam masih bersih tanpa noda. Padahal kemarin sepulang shopping, masih ada bercak meskipun tidak seperti keluarnya darah seperti di awal menstruasi.

Amanda jadi bingung sendiri. Ingin mandi wajib untuk melakukan ibadah sholat, tetapi ada keraguan kalau nanti darahnya muncul lagi. Akhirnya dia keluar kamar mandi setelah memutuskan untuk tetap menggunakan pembalut hingga sehari lagi.

Satu jam kemudian, Amanda sudah berada di teras rumah. Sepeda motor matic yang biasa menemani aktifitasnya sehari-harinya sudah standby di depan garasi. Mamanya juga sudah menunggu di depan teras seperti biasa.

"Aku berangkat dulu ya, Ma." Manda mencium tangan mamanya sebelum mengenakan helm.

"Hati-hati di jalan, Nda!"

Amanda mengangguk dan segera membuka pagar rumahnya. Setelah memberi salam, dia menjalankan motornya dengan pelan.

"Berangkat, Nda? Barengan yuk!" Sapa Bramantyo yang kebetulan juga sedang membuka pagar rumahnya.

Amanda yang disapa Bram, segera menghentikan motornya persis di depan rumah Bram dan membuka kaca helmya. "Senin pagi gini enaknya bawa motor, Mas. Cepat nyampenya daripada bawa mobil kayak Mas Bram."

"Iya juga sih. Tapi setidaknya kalo pake mobil gak kena debu."

"Kan aku pake masker, Mas."

"Tetap aja masih kena debu. Mendingan bareng aku aja yuk! Kita kan searah." Bram masih merayu Amanda dan berjalan mendekatinya. Di teras rumah, mamanya Amanda memandang keduanya dengan mengulum senyum.

"Makasih tawarannya, Mas. Tapi aku berangkat pake motor aja." Manda menyalakan mesin motornya lagi. Tapi tangan Bram menahan dengan memegang gagang spion.

"Sebentar, Nda! Mau memastikan aja, minggu depan jadi kan bikin rica-ricanya?"

Amanda menghela napas. Rica lagi, rica lagi ... Amanda menyipitkan mata menatap Bram.

"Memangnya Mas Bram pingin beneran?"

Bramantyo mengangguk seperti anak kecil yang ditanya ibunya. "Biasanya sih Mamaku yang suka masakin rica. Tapi berhubung Beliau sudah pulang ke Semarang, makanya aku minta tolong kamu aja yang bikinin."

"Kalo aku gak bisa bikin seenak bikinan Tante gimana?"

"Gak masalah sih. Enak gak enak kalo kamu yang masak tetap aja aku akan makan."

Amanda berdecak. "Kalo gitu aku bikin asin aja."

"Gak masalah." Balas Bram santai seakan menantang Amanda. "Katanya kalo masakannya asin, tandanya dia minta kawin." Bram memberikan cengiran menggoda yang membuat Amanda jengah.

"Ih ... Mas Bram aneh. Udah ah, aku mau berangkat. Takut telat gak enak nanti sama Bos." Amanda menarik tangan Bram dari spionnya.

"Bosmu yang galak itu kan? Masih hidup dia?" tanya Bram dengan sarkasnya.

Seketika mata Amanda membulat mendengar pertanyaan Bram yang melecehkan Kenan.

"Tugas dokter itu kan membuat orang yang sakit jadi sembuh ya ... tapi aku heran deh sama Mas Bram. Kayaknya baru kali ini dengar dokter kok ngomongnya terbalik kayak gitu." Gerutu Amanda tak terima. Belum tahu saja Bram kalau Kenan itu kekasihnya.

Habis mengucap seperti itu, Amanda segera menutup kaca helmnya. Di sampingnya Bram terkekeh pelan seraya tangannya iseng mengetuk helm Amanda.

"Kamu takut dipecat ya, Nda? Jangan kwatir kalo kamu dipecat sama dia. Mending cari pekerjaan lain, daripada punya Bos arogan kayak gitu." Bram masih kekeuh mencela Kenan.

AMANDA dan Si MATA BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang