Jangan lupa tekan tanda ⭐ di pojok kiri bawah ya🤗😍
🌹Happy reading🌹
Seperti biasa setiap jumat pagi aku akan mendatangi ruangan Pak Kenan. Tetapi sebelumnya aku harus melapor terlebih dahulu pada Mas Zulkifli, sekretarisnya yang selalu standby di meja samping pintu ruang Pak Kenan.
Dengan tiga kali ketukan di pintu, aku mendengar suara balasan dari dalam ruangan yang menyuruhku masuk. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi aku pun segera membuka pintu. Di tangan kiriku sudah ada setumpuk berkas yang sudah dilampiri alat pembayaran di atasnya.
"Selamat pagi, Pak!" Sapa ku ramah kepada pria yang aku lihat sedang sibuk di depan layar laptopnya.
"Pagi, hari ini kamu bawa berapa banyak?" Sahut Beliau datar tanpa menatap wajahku. Tapi aku sih sudah biasa ....
"105 lembar, Pak."
"Nilainya?"
Aku menyebutkan sejumlah nominal rupiah yang sudah aku hapalkan sebelum memasuki ruangan keramat ini.
"Ok ... kamu taruh saja di situ ya. Sore nanti kamu ke sini lagi!
Aku segera menaruh apa yang aku gendong di atas meja besar warna hitam berlapis kaca di depanku. Membawa setumpuk berkas dari lantai bawah hingga lantai tiga hanya melalui tangga membuat tanganku terasa kebas.
Tatapan mataku kini menuju ke Pak Kenan..
"Kok ke sini lagi nanti sore sih, Pak? Biasanya kan Sabtu pagi?" Aku mencoba memprotes perintahnya karena aku sudah terlanjur memiliki janji dengan Kiara, sahabatku sejak kami duduk di bangku SMP untuk nge-mall sore nanti sepulang kerja.
"Kenapa?" Kenan mendongak menatapku, ada raut wajah tak suka ketika perintahnya dibantah.
Aku menggeleng dan menghembuskan napas, rasanya percuma juga memberikan alasan penolakan.
Lagian Pak Kenan ini juga terasa aneh banget, tanda tangan giro atau cek aja mesti minta ditungguin. Alasannya karena kalau ada yang gak jelas bisa langsung tanya ke aku.
Tapi kenapa harus aku? Harusnya kan dia tanya ke Manager Purchasing, atau setidaknya ke anak buahnya jika memang dia membutuhkan tentang informasi pembelian.
"Gak Pak, saya cuma tanya aja kok."
"Kamu keberatan?"
"Tidak Pak. Kalo gitu nanti sore saya akan kembali lagi ke sini. Maaf, saya permisi dulu," ucapku sebelum berbalik untuk pergi.
Bisa jadi sikapku terlihat tidak sopan, tetapi aku sedang kesal kepadanya. Sewaktu Papanya masih menjadi pimpinan di sini, hal ini tidak pernah terjadi. Jika aku menyerahkan berkas jumat pagi, biasanya paling lambat sabtu siang Pak Rizki Samudera sudah memanggilku untuk mengambilnya kembali.
Hanya tinggal ambil, tanpa menunggu Beliau tanda tangan.
"Manda!" Panggilnya dengan sedikit lembut sebelum aku sempat membuka pintu.
Tanpa berfikir lagi aku segera memutar tubuhku kembali menghadapnya.
"Kamu bekerja di sini sudah berapa lama?" Pertanyaan Pak Kenan membuatku tanda tanya. Tanpa sadar aku melangkah mendekat.
"Hampir 4 tahun. Memangnya kenapa, Pak?" Dengan berani aku bertanya balik.
Yah ... aku memang sudah bekerja di Samudera Ritel & Grosir sudah selama itu, tapi baru setahun ini Pak Kenan yang sebenarnya berkantor di pusat Samudera di Jakarta berbagi kendali juga dengan cabang di Surabaya setelah papanya pensiun.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANDA dan Si MATA BIRU
General FictionCerita untuk usia 21+ Kenan Alarico Samudera sudah mengenal Amanda Puteri Suhardiman selama setahun sebagai bawahannya. Bahkan seminggu sekali mereka selalu berdua di ruangan kantornya dalam suatu urusan pekerjaan. Hingga suatu saat rasa cinta yang...