DUA PULUH TUJUH

8.6K 861 93
                                    

Kemarin up ...
Hari ini up ...
Selanjutnya jangan ditanyakan dulu ya ...
Pokoknya kelar, ya langsung up ...
😍😜

Hayoo ...
Siapa yang minta up tapi gak mau kasih vote?
🤔☹️

🌹Happy reading🌹

Setelah keluar masuk beberapa showroom yang menjual kebutuhan wanita, akhirnya aku melihat cengiran mama yang terlihat kelelahan. Meskipun begitu, sorot matanya masih ingin masuk lagi ke tempat yang lainnya ... tapi tak berdaya karena kakinya yang kecapekan.

Aku mengulum senyum. "Kalo mau tambah lagi, monggo aja, Ma. Aku selalu bersabar menemani Mama kemanapun Mama akan masuk." Tantangku berniat menggodanya, yang dibalas mama dengan terkekeh pelan seraya menepuk lenganku.

Kini sudah ada tiga paper bag di tanganku. Satu punyaku dan yang dua punya mama. Isinya sandal dan sepatu. Sementara tangan mama juga memegang dua. Isinya baju gamis miliknya, dan juga baju atasan kepunyaanku.

"Makan dulu aja, Nda! Udah siang ... Mama lapar."

"Hm, gitu ya? Kirain mau ngajak masuk lagi ke situ?" Daguku menunjuk ke showroom yang memajang puluhan tas cantik beraneka warna. Siapapun yang melihatnya pasti tergiur.

Jujur saja, aku juga tertarik untuk memiliki salah satunya. Tapi apa daya, aku harus menahan diri. Harga tas bermerk yang berada di seberang kami berdiri itu jelas-jelas mahal. Daripada membelinya dan harus menguras tabunganku, mendingan aku membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanku saja. Masih banyak kok tas KW yang harganya jauh lebih murah.

"Harga satu tasnya sama dengan berapa kilo beras ya, Nda?" Tanya mama yang terdengar seperti bergumam.

Aku hampir tak bisa menahan tawa. Dasar ibu-ibu ... mau beli sesuatu saja selalu dibandingkan dengan harga beras. Aku paham maksudnya mama sih, daripada buat beli tas ... mendingan buat beli kebutuhan pokok. Entah nantinya akan dapat berapa kilogram.

"Daripada mikir kayak gitu, Ma, lebih baik kita mikir mau makan apa dan dimana." Ajakku akhirnya.

"Kamu tau selera Mama kan?"

Aku mengangguk. "Makanan Indonesia dengan label halal." Jawabku yang dibalas senyuman oleh mama.

"Kadang Mama itu khawatir, Nda. Makanan yang dijual di sini itu halal apa enggak. Takutnya ada minyak babi atau sejenisnya gitu. Bagi orang lain sih mungkin gak masalah. Tapi bagi Mama itu prinsip. Hal yang meragukan lebih baik tidak dilakukan. Daripada 40 hari ibadah kita tidak diterima dan sia-sia." Tutur mama di saat kami berjalan mencari restoran yang diinginkan beliau.

"Kalo gitu cari masakan jawa timuran saja, Ma. Dijamin halal deh. Rawon, soto, iga, sop buntut atau penyetan ikan."

"Dimana itu?"

"Food court aja ya."

"Terserah kamulah!" Jawab mama pasrah.

Di saat kami melangkah pelan menuju tempat yang kami inginkan, di saat itu pula kedua mataku terbelalak melihat Pak Kenan yang berjalan pelan bersama wanita paruh baya yang berkulit putih dan bermata biru.

Aku menelan ludah. Rasanya ada yang tersekat di tenggorokanku ketika melihat mereka berjalan menuju ke arahku. Senyum Pak Kenan sudah tersungging meskipun jarak kami masih sekitar 10 meter.

"Ma, ada bosku." Bisikku pelan di dekat telinga mama.

"Hah, mana?" Mama terlihat kaget.

"Yang lagi jalan ke sini."

AMANDA dan Si MATA BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang