LIMA

17.5K 1.1K 76
                                        

Jangan lupa tekan tanda ⭐ di pojok kiri bawah ya..

🌹Happy reading🌹

"Halo ... selamat malam, Pak!" Sapaku ketika Pak Kenan meneleponku. Aku segera memperbaiki posisi dudukku dengan bersandar di ujung ranjang.

"Malam juga, Nda!" Suara baritonnya mulai terdengar dari ujung sana. Aku mulai memasang telinga.

"Eum ... ada keperluan apa ya, Pak?"

"Maaf, Nda! Saya mengganggu waktu istirahat kamu!"

"Gak pa pa kok, Pak! Mungkin ada hal urgent yang perlu Bapak sampaikan?" Tanyaku sok tahu.

Tapi dari mana dia tahu nomer kontak ku? Aku mengernyitkan dahi.

Selama setahun aku mengenal dia, kami tidak pernah melakukan kontak lewat ponsel. Dia tidak pernah bertanya, dan aku pun juga tidak mungkin memberi.

"Begini lo, Nda!" Jeda sebentar, aku mendengar helaan napasnya.

"Saya sekarang masih berada di Surabaya. Rencananya hingga Rabu siang saya masih tetap ngantor di sini." Kata Pak Kenan di seberang telpon.

"Lantas?" Tanyaku lagi dengan tak sabar. Untuk apa hal seperti itu dia informasikan kepadaku? Malam-malam lagi ....

"Saya minta tolong, hari selasa pagi kamu siapkan berkas penagihan yang harus kita bayar!"

"Eum .... gitu ya, Pak?"

Bukankah perintah seperti ini bisa ditunda hingga besok pagi via Mas Zul selaku sekretarisnya? Bukankah selama ini Mas Zul yang selalu berurusan dengan orang-orang yang akan berhubungan dengan Pak Kenan dan begitupun sebaliknya?

Ada sedikit rasa melambung di hatiku dengan telponnya kali ini. Bisa jadi aku GR. GR dalam artian dekat secara pekerjaan dengan bosku. Dan aku tidak ingin hal yang lain, aku takut baper.

"Nda, Manda!" Panggil Pak Kenan ketika aku hanya terdiam dan memikirkan sikapnya.

"Ya, Pak?"

"Kamu kenapa? Ada masalah kah?"

Jelas masalah! Besok pagi aku harus mengebut mengoreksi laporan penerimaan barang datang, belum lagi supplier yang datang untuk tukar tanda terima, belum lagi ....

"Gak ada, Pak!" Jawabku lesu. Aku gak mungkin kan mengeluh. Apalagi mengeluh pada pemilik usaha, bisa turun kondite ku.

"Tapi suaramu kok kayak lemas gitu?"

Aku menghela napas pelan, agar tidak terdengar olehnya.

"Ngantuk, Pak!"

"Belum juga jam sembilan, Nda!"

"Iya sih, Pak! Cuma kecapekan jadi ngantuk!"

Aku pura-pura menguap. Gak enak juga mau memutuskan sambungan telepon, sementara Pak Kenan masih berbicara.

"Kamu tadi habis ngapain aja kok capek?"

"Tadi lagi ada tamu, Pak!"

"Tamu kamu?" Suaranya terdengar seperti eum ... ah entahlah. Tanpa sadar aku mengibaskan tanganku.

"Bukan tamu saya. Tapi tamunya Mama saya?"

"Ooo, kirain kamu lagi diapelin! Saya kan jadi gak enak ganggu waktu kamu!"

Jika aku benar, sepertinya Pak Kenan sedang memancing tentang kehidupan pribadiku.

Aku terkekeh, lagian jarang juga orang apel di minggu malam, kecuali ... kepepet rindu. Iya gak?

AMANDA dan Si MATA BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang