TIGA PULUH TUJUH

8.6K 844 45
                                    


🌹Happy reading🌹

Amanda termenung dan duduk menyandar di kursinya. Kedua tangannya yang di atas meja, membolak balikkan sebuah amplop yang berisi surat pengunduran diri.

Kalau mengikuti kata hati ... sungguh dia merasa berat untuk keluar dari pekerjaannya. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tapi kini dia bertekad untuk mengakhiri statusnya sebagai pegawai Samudera hanya karena kelemahannya mengendalikan nafsu beberapa bulan yang lalu.

Tak pernah terlintas dalam benaknya jika dia akan meninggalkan pekerjaannya yang menurutnya sangat nyaman, dan meninggalkan mama dan adiknya yang dia sayang, meskipun hanya untuk sementara.

Plan B yang dia buat bisa gak bisa harus dia jalani. Mana mungkin dia akan bekerja dengan perut yang semakin lama semakin membesar tanpa memiliki suami. Yang jelas dia harus pergi.

Seandainya dia menikah pun dengan Bosnya, tetap saja dia harus resign. Menikah atau tidak ... kenyataannya dia harus mundur dari Samudera.

Amanda menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Senyum getir tersungging di bibirnya. Sebelah tangannya mengusap pelan perut tempat calon bayinya berada. Antara bahagia sekaligus juga sedih. Tapi dia ingin bayinya bahagia ... makanya dia segera menepis rasa galaunya dan segera bangkit berdiri.

Jarum pendek di jam tangannya hampir mendekati angka 11 ketika dia mengetuk pintu ruang manager Personalia dan HRD. Dari balik pintu yang transparan itu, Amanda melihat Laras mengangguk menyuruh Amanda masuk.

"Maaf, Mbak Laras, saya mau ganggu sebentar!" Perempuan yang selisih 5 tahun di atas Amanda itu tersenyum.

"Duduk dulu, Nda! Ada apa?" Laras menaruh pulpen di tangannya, dan melihat amplop di tangan Amanda. "Apa itu?"

Senyum menghias bibir Amanda. Dengan pelan amplop di tangannya dia serahkan ke Laras. "Surat pengunduran diri, Mbak?"

"Pengunduran diri?" Alis Laras menaut. "Punya siapa?"

Amanda tersenyum lagi. "Punya saya, Mbak."

Dengan rasa heran dan ragu, Laras membuka surat pengunduran diri Amanda. Membacanya sebentar dan kemudian dia terdiam, matanya menatap gadis yang duduk di sebrang mejanya.

"Kamu yakin mau resign?"

Amanda mengangguk. "Ya."

"Kenapa? Bukannya kamu betah kerja di sini? Kamu juga seperti menikmati di posisimu. Terus kenapa kamu mesti pindah ke perusahaan lain?"

Di suratnya, Amanda menulis alasan jika dia diterima di perusahaan lain, karena menurutnya ... hanya itu alasan yang tepat. Jika dia menggunakan alasan selain itu ... Amanda khawatir niatnya akan dihalangi atau dipersulit.

Lagi-lagi Amanda menutupi kegalauan hatinya dengan senyum.

"Ya seperti itulah, Mbak. Tapi ada hal lain yang membuat saya tertantang untuk bekerja di tempat lain itu. Makanya saya terima."

"Sudah berapa lama kamu kerja di sini, Nda?"

"Empat tahunan, Mbak."

"Kamu gak sayang gitu? Mundur dan mengawali semuanya dari awal lagi?"

"Sayang sih, Mbak. Tapi mau gimana lagi ... saya mau cari pengalaman di tempat lain, dan kebetulan saya diterima di sana." Kebohongan yang begitu lancar dia ucapkan, tapi terasa menyesakkan.

Laras menghela napas, matanya beralih melihat surat di tangannya. "Sebenarnya saya menyayangkan sekali jika kamu keluar dari sini. Karena menurut penilaian kami ... secara pekerjaan kamu adalah salah satu karyawan yang disiplin dan penuh loyalitas. Tapi di sisi yang lain, sebagai pribadi saya sendiri ... saya mendukung kamu untuk mendapatkan yang lebih baik," ucap Laras pelan sebelum akhirnya dia mendongak menatap Amanda yang bibirnya terkatup.

AMANDA dan Si MATA BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang