🌹Happy reading🌹
Setelah main kucing-kucingan alias saling diam sejak pagi ... kini Amanda sudah berada di dalam apartemen Kenan. Dia menyerah dengan paksaan Kenan yang mengajaknya makan malam di tempat tinggalnya. Padahal Amanda merasa tidak nafsu makan selepas meeting tadi pagi.
Wajah Amanda yang terlihat lesu membuat Kenan tak enak hati. Dia memesan makanan sea food via online. Dan sambil menunggu pesanan datang, Kenan membersihkan dirinya terlebih dahulu. Secepat kilat dia menyelesaikan urusannya dan sepuluh menit kemudian dia sudah duduk di sebelah Amanda di sofa depan TV.
"Dari tadi kok diam aja sih, Yang? Kamu marah sama Mas ya?" Tanya Kenan lembut.
Ya, sejak Kenan menelepon Amanda semalam, sejak itu juga dia membiasakan memanggil dirinya sendiri dengan panggilan 'Mas'. Menurutnya biar terdengar lebih romantis. ( Hm ... Gimana rasanya kalo wajah bule dipanggil 'Mas'? )
Kenan memeluk tubuh Amanda dari samping dan membelai pipi halusnya yang kini terlihat lebih tirus. Hati Kenan merasa terenyuh. Tapi apa daya, untuk saat ini Kenan memiliki keterbatasan waktu, dan menurutnya ... keputusannya kali ini tidaklah salah.
Beberapa bulan ini pekerjaannya sedikit terbengkalai. Pikirannya terbagi-bagi antara pekerjaan sebagai Direktur Utama Samudera dan sebagai area GM Surabaya. Belum lagi dengan permasalahan pribadi antara isteri dan kekasihnya yang belum ada jalan keluar alias buntu.
Untuk itulah dia memindahkan Edwin untuk menggantikan dirinya di Surabaya. Biar pikirannya lebih fokus pada tugas utamanya yang selama ini sedikit terabaikan. Karena akhir-akhir ini fisiknya juga terlihat lemah, dan nafsu makannya juga menurun. Dia juga tidak tahu kenapa, tapi memang itu yang dialaminya.
"Aku marah sama Mas untuk apa?" Amanda mendongak menatap Kenan dengan mata sendunya.
Kenan mengangkat bahu, dia mencium kening Amanda yang ada di depannya. "Mas gak tau. Cuma Mas ngerasa aja kalo kamu menghindar terus sejak pagi."
"Menghindar bukan berarti marah kan, Mas? Aku kan sedang sibuk sama kerjaanku." Amanda membalas dengan suara lirih. Dia memilin-milin rambut yang menjuntai di dadanya.
"Biasanya kalo Mas lagi di Surabaya, kamu selalu peduli sama Mas. Biar pekerjaan banyak juga masih mau balas chat dan telepon dari Mas. Tapi hari ini kamu mengabaikan Mas gitu aja." Rajuk Kenan.
Amanda melepas pelukan Kenan pelan. Matanya menatap wajah Kenan sekilas sembari menggeser sedikit tubuhnya seolah memberi jarak. Tangannya segera meraih remote untuk menyalakan televisi.
"Aku hanya kecewa aja sama Mas." Akhirnya dia menjawab pertanyaan Kenan dengan hembusan napas pasrah. Rajukan Kenan tak membuat dirinya tersentuh. Tangannya sibuk mencari chanel TV yang bisa menghibur hatinya yang sedang gundah.
"Seandainya Mas cerita tentang keputusan ini sebelumnya ... Mas yakin kamu gak akan setuju, Yang." Ucap Kenan pelan.
Tangannya ingin meraih wajah Amanda untuk dihadapkan pada dirinya. Tetapi sebelum itu terjadi ... suara bel dari luar apartemennya berbunyi.
"Sebentar, Yang! Kayaknya pesanan kita datang." Tangannya mengusap pucuk kepala Amanda sebelum berlalu membuka pintu.
Amanda menghembuskan napasnya kasar dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Dia memejamkan matanya seraya mengusap pelan perutnya yang masih datar.
Pikirannya berkecamuk. Ingin rasanya dia bercerita pada Kenan tentang kekhawatirannya saat ini. Tapi Amanda merasa tidak sampai hati. Dia melihat wajah Kenan yang juga terlihat lelah. Sementara dia sendiri juga belum memastikan kalau kekhawatirannya akan berujung nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMANDA dan Si MATA BIRU
Ficción GeneralCerita untuk usia 21+ Kenan Alarico Samudera sudah mengenal Amanda Puteri Suhardiman selama setahun sebagai bawahannya. Bahkan seminggu sekali mereka selalu berdua di ruangan kantornya dalam suatu urusan pekerjaan. Hingga suatu saat rasa cinta yang...