DUA PULUH EMPAT

10.5K 943 95
                                    

Makasih untuk 6 K followers ku per hari ini🙏
Jadi gak sabar pingin up secepatnya di sela-sela puasa.
Tapi jangan lupa juga vote dan comments nya ya say🤗

Vote dari kalian adalah penyemangatku untuk kelancaran cerita-ceritaku😍

🌹Happy reading🌹


"Selamat pagi, Pak!"

Aku menyapa Pak Kenan yang melangkah perlahan ke arahku dan Mas Bram. Tatapan matanya tak lepas dari keberadaan tanganku yang mengembalikan ponsel Mas Bram yang akhirnya menerimanya kembali dan memasukkan ke dalam sakunya lagi.

Raut wajahnya terlihat serius, malah cenderung dingin. Aku hanya bisa menelan ludah berharap apa yang dilakukan tangan Mas Bram berulangkali tadi tidak diketahui Pak Kenan.

"Siapa, Nda? Bosmu?" Bisik Mas Bram di dekat telingaku. Aku membalas dengan anggukan. Bibirku terkatup, dan tatapan mataku masih fokus dengan keberadaan Pak Kenan yang kini sudah berada di hadapanku.

"Kamu ngapain di sini? Memangnya gak ada kerjaan lagi?" Tanya Pak Kenan dengan nada sindiran.

Harusnya sabtu pagi ini seperti sabtu pagi sebelumnya, aku sudah harus di ruangannya. Menyerahkan berkas dan menungguinya tanda tangan.

"Maaf, Pak! Barusan saya ada sedikit keperluan. Ini saya mau balik ke kantor kok." Aku melirik Mas Bram yang melongo dan menggelengkan kepala seperti tak suka dengan sikap dan tatapan Pak Kenan yang terlihat arogan kepadaku.

"Manda lagi kurang sehat, Bos! Makanya dia cari vitamin di sini!" Celetuk Mas Bram tanpa diminta yang langsung aku hadiahi dengan pelototan.

"Kalo sakit harusnya dia ke klinik perusahaan! Bukan malah ke sini dan ngobrol di sini!" Balas Pak Kenan sengak.

Aku menggelengkan kepala memberi kode pada Mas Bram yang berniat membalas ucapan Pak Kenan lagi. Bisa runyam kalau terus-terusan saling membalas. Apalagi beberapa karyawan toko mulai memperhatikan keberadaan kami bertiga.

"Iya, Pak. Makanya ini mau balik ke kantor lagi!" Aku berniat membalikkan tubuh ketika Mas Bram mencekal lenganku lagi. Dan aku menatapnya tak suka.

"Jangan lupa lagi loh, Nda! Minggu depan aku antar menthoknya ke rumah kamu! Sudah pingin beneran ini."

Aku menghela napas dan melirik Pak Kenan yang dahinya mengernyit. Sepertinya banyak hal yang harus aku jelaskan kepadanya jika kami nanti hanya berdua.

"Iya, nanti aku bilang Mama dulu! Lagian Mas Bram juga kayak orang ngidam aja!" Sungutku kesal dan melepas tangan Mas Bram di lenganku. Menthok lagi, menthok lagi ... masih sempatnya sih Mas Bram menanyakan hal itu di depan orang yang sepertinya akan menelanku dengan tatapan mautnya itu.

"Yah, kamu betul! Aku memang lagi ngidam." Mas Bram tersenyum menggodaku. Perasaan gak enak dengan tatapan tajam Pak Kenan membuatku ingin segera berlalu dari keduanya.

"Nanti Mas Bram aku hub ......"

"Kamu bawa berkasmu ke ruangan saya sekarang, dan tunggu saya di sana!" Perintah Pak Kenan dengan nada suara yang gak enak di dengar, memotong ucapanku untuk Mas Bram.

"Yah, Pak." Jawabku pasrah, mataku melirik Mas Bram yang mengangkat bahu, sebelum akhirnya aku benar-benar meninggalkan keduanya. Aku sudah tak peduli jika mereka masih melanjutkan obrolan, ataukah berlalu dengan urusan masing-masing. Ataukah malah mereka berkenalan dan Mas Bram mengajaknya makan menthok berdua .... siapa tahu kan?

Aku memasuki lobby dengan membawa kantong plastik kecil berisi minuman. Tubuhku yang agak meriang, kini terasa semakin meriang saja setelah bertemu Pak Kenan dengan aura yang berbeda. Dalam hal ini aku merasa tidak bersalah jika bertemu Mas Bram di luar sana. Aku juga hanya menjawab apa yang harus aku jawab dari pertanyaan Mas Bram, dan bukan berniat untuk mengobrol dan mengabaikan jam kerja. Aku bukan orang yang suka korupsi jam kerja.

AMANDA dan Si MATA BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang