Aku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tilda tidak mengatakan apa-apa saat menyetir kembali ke Westside. Wajahnya terlihat tegang, tapi senyum nampak jelas pada wajahnya, cukup untuk mengatakan kalau yang akan dia lakukan bukanlah hal yang berbahaya. Mungkin kami akan bertemu teman lama yang sangat ditunggunya. Dia terlihat bersemangat sampai terlalu mengebut pada belokan terakhir menuju rumah besar Shaw. Untung saja kupegang pegangan di pintu mobil erat-erat. Kalau tidak, aku pasti terlempar.
"Maaf," katanya tanpa menurunkan kecerahan senyum lebarnya. "Aku sangat bersemangat sekali."
Dia menghentikan mobil tepat di depan halaman rumah Shaw. Namun, dia tidak turun. Mobil yang kami kejar tepat berada di depan kami. Kalau dia memang ingin melihat orang yang datang itu, seharusnya dia langsung melompat turun saja. Ada apa dengannya?
"Kau ... ugh ... tidak turun?" tanyaku bingung, berusaha memperbaiki dudukku lagi.
Dia terus melihat ke arah rumah itu. Pemilik mobil itu pasti sudah masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan pemilik rumah ini sekarang. Seharusnya Tilda turun dari mobil saja. Aku juga sudah sangat penasaran ingin tahu siapa orang yang membuatnya begitu bersemangat itu.
"Belum, Lauren yang baik. Belum saatnya." Dia berkata tanpa berpaling padaku.
Aku tidak mengerti. Apa yang ingin dia lihat memangnya?
Lalu, dia tiba-tiba melihatku. "Lauren, apakah kau tahu ada pekerjaan yang harus menunggu selama berjam-jam?"
"Penjaga keamanan?"
Dia tersenyum. "Ya, itu juga. Tapi, penjaga keamanan masih bisa melakukan kegiatan lain selain menunggu. Di dunia ini ada banyak pekerjaan yang mengharuskan pekerjanya untuk diam di suatu tempat hanya untuk menunggu saja. Menunggu waktu yang tepat atau menunggu momen yang tepat. Sebut saja seorang sniper, fotografer hewan atau tumbuhan, pemain saham, peneliti, hingga astronom. Mereka harus memperhitungkan saat yang tepat untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan tugasnya. Seorang sniper harus menunggu saat yang tepat untuk bisa menembak. Seorang penembak profesional akan menunggu hingga tangannya tidak gemetar, jantungnya tidak lagi berdetak kencang, dan angin bekerja sama dengannya. Yang orang lain lihat hanyalah hal kecil dari pekerjaannya, menembak, tapi yang sebenarnya dilakukannya adalah perhitungan-perhitungan dan ketepatannya dalam menentukan kapan saaat yang tepat untuk menekan pelatuk."
Aku mendengarkan penjelasannya dengan saksama, berusaha memikirkan ke mana dia akan membawaku setelah penjelasan ini. Makin lama wajah Tilda makin memerah, bukan karena malu atau marah. Dia terlihat makin bersemangat seolah yang ditunggunya sudah hampir tiba.
"Saat ini, kita melakukan yang dilakukan oleh orang-orang itu, menunggu saat yang tepat untuk mendapatkan hasil terbaik," katanya lagi dengan suara tenang, berbanding terbalik dengan keterburu-buruannya saat menyetir dari.
"Hasil terbaik dari apa?"
"Dari pertemuan kita dengan orang penting yang telah jauh-jauh datang itu."