Lauren : Lesson from the Experienced One

3K 556 39
                                    

"Apa yang kau rasakan?" tanya Tilda tanpa senyum, tanpa melihat padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa yang kau rasakan?" tanya Tilda tanpa senyum, tanpa melihat padaku. Matanya lurus pada jalanan di depannya.

Aku mencoba melihat ke dalam diriku, bertanya pada diri sendiri apa sebenarnya yang kurasakan. Tidak ada. Aku tidak merasakan apa pun. Aku hanya melihat saja yang terjadi di sana seperti aku melihat pekerja yang lain. Aku tidak ingin marah atau apa. Lagi pula, kenapa aku marah?

"Maaf. Mungkin aku terlalu bodoh, Tilda. Aku ... hanya tidak mengerti kenapa aku harus merasakan sesuatu." Aku berusaha berkata dengan jujur. Selain tidak mungkin berbohong pada Tilda, dengan berbicara jujur aku juga ingin mendengar penjelasan Tilda.

Namun, Tilda tersenyum saja. "Bagus kalau kau tidak merasakan apa-apa."

"Kenapa?"

"Karena kau tidak memasukkan Raymond dalam hatimu. Kau tidak menyukainya secara spesial. Bagus sekali. Kau tidak perlu berhubungan dengan buaya seperti dia. Lelaki yang tidak bisa memenuhi janji di mulutnya adalah lelaki tanpa integritas. Lelaki seperti ini tidak akan memberikan apa pun padamu selain kesedihan."

Ah, itu maksudnya. Tilda berpikir aku sudah jatuh hati pada Raymond. Kedekatan kami selama ini dan cara Raymond mendekatiku memang bisa membuat orang menjadi berpikir kalau aku mungkin akan atau sudah jatuh padanya. Tidak. Kukira aku hanya akan jatuh cinta sekali saja dan sudah ada nama yang berada di sana.

"Aku khawatir, Lauren. Kupikir kau menyembunyikan kenyataan kalau kau menyukainya. Raymond sangat menggoda untuk gadis yang tidak tahu apa-apa sepertimu. Dia tampan, kaya, terpelajar, pintar bicara, dan banyak hal lainnya. Dia punya bekal yang cukup untuk membuat gadis-gadis desa jatuh cinta. Kau lihat bagaimana pelayan-pelayan di Westside melihatnya? Mereka benar-benar rela ditiduri Raymond tanpa imbalan sekalipun. Aku khawatir kau juga sama dengan mereka."

Aku tersenyum, melihatnya dengan tatapan mengejek yang sebenarnya hanya usahaku untuk bercanda dengannya. "Kau tidak sehebat yang kupikirkan ternyata. Kau tetap tidak bisa mengetahui isi hatiku." Setelah berkata seprti ini, aku menutup mulut rapat-rapat. Ini sangat tidak sopan diucapkan pada majikan. Caraku bercanda sudah keterlaluan.

"Maaf," kataku yang ternyata malah membuat Tilda terbahak-bahak.

"Ya, Sayang. Aku memang tidak sehebat penyihir. Aku tidak bisa membaca pikiran manusia. Tidak ada yang bisa melakukannya. Yang bisa kulakukan adalah memahami ekspresi dan perubahannya."

Dia tertawa sebentar, tawa renyah yang menyenangkan.

"Aku tahu kau tidak mencintai Raymond. Aku hanya berpikir jika suatu hari kau termakan omongan manisnya dan jatuh hati padanya. Itu akan sangat merugikanmu. Aku tidak ingin kau jatuh seperti itu. Perempuan memiliki titik lemah yang tidak bisa dipungkiri, sulit menolak permintaan karena merasa tidak enak hati. Ini yang kukhawatirkan darimu. Aku tidak ingin melihat ada perempuan lain yang hidup dalam penyesalan."

Aku melihat ke luar jendela, menyembunyikan senyum yang entah kenapa sangat ingin kukeluarkan. Setiap dia mengatakan tentang rasa suka atau cinta, yang muncul dalam benakku hanya satu orang dan aku sangat merindukannya saat ini.

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang