A Rage of Ambition

9.9K 1.5K 32
                                    

Yaaayyy... Akhirnya bisa update lagi malam ini.

The Only Love We Have naik ke posisi #319 malam ini. Wuah, terima kasih banyak ya, Readers sudah mendukung Hellene untuk mendapatkan tempat yang baik. Mohon bantuannya untuk Voment dan share cerita ini kalau kalian suka. Saya akan sangat menghargainya.

Semoga besok bisa update lagi, yah. 

Terima kasih banyak untuk semuanya, Readers.

Love,

Honey Dee

***

Suara apa itu?

Bunyi gedoran pintu?

Tidak. Itu jauh lebih keras.

Bunyi itu lagi.

Apa yang mereka lakukan di bawah sana? Pembantu-pembantu tolol itu merayakan kematian Mom?

Aku berguling di tempat tidur dan menutup kepala dengan bantal. Rasanya mataku lengket dan tidak mungkin bisa dibuka. Aku juga tidak ingin membukanya.

Suara itu terdengar lagi, jauh lebih keras dari sebelumnya. Aku mengerang keras dan duduk di tempat tidur. Gelap gulita. Aku mengerjap dalam kegelapan. Pengatur udara mati. Kamarku terasa sesak sekali. Sekalipun tidak bisa melihat apapun, kukerjap-kerjapkan mata, berharap bisa menemukan sesuatu. Nihil. Tidak ada apapun selain kegelapan. Tapi, suara itu terdengar jelas sekarang. Seseorang atau beberapa orang mencoba mendobrak pintu kamarku. Apa yang mereka katakan?

"Kebakaran! Hellene, ada api! Buka pintu!" Beberapa orang bicara dalam waktu hampir bersamaan.

Aku menelan ludah. Kebakaran? Mana mungkin!

Tergesa, kakiku terselip selimut. Aku jatuh berdebum di atas karpet bulu. Ya, sekarang aku bisa merasakannya, bau asap terbakar. Baunya menyengat sekali. Aku gagal membebaskan kaki dari lilitan selimut. Terengah, aku berusaha merangkak dan merayap sepanjang lantai dan meraba dinding mencari gagang pintu. Mom mendesain kamarku sedemikian rupa. Pintu itu terlalu tebal untuk didobrak. Dia membuatkanku benteng agar aku bisa dikurung di dalam kamar ini kalau bersikap menyebalkan. Sekarang, aku benar-benar terkurung di tengah kebakaran.

"HELLENE!"

"Ya. Aku dengar." Suaraku tercekat saat berkonsentrasi mencari gagang pintu.

Dapat!

Kuputar kunci kamar dan terbuka! Beberapa orang pembantu menunggu di depan pintu. Mereka masih memakai piyama dan wajah mereka ketakutan.

"Kenapa? Kok bisa terbakar?" Pertanyaan terbodoh yang diajukan dalam kondisi begini. Memang ini yang ada di kepalaku. Rumah ini seharusnya punya alarm yang otomatis tertuju ke unit pemadam kebakaran dan 911 terdekat. Kenapa mereka membiarkan api jadi sebesar ini.

Mereka tidak mengatakan apapun selain menyeretku. Beberapa kali aku hampir terjatuh, tapi mereka tidak mengizinkanku berhenti. Beberapa kali kakiku selip di anak tangga dan mereka tetap tidak peduli. Aku mengerti. Lebih baik aku keluar dari kegelapan dan panasnya rumah ini dengan kaki patah daripada mati terpanggang di dalam.

Bagian bawah rumah sudah penuh dengan api. Seseorang membekap mulut dan hidungku dengan handuk basah dan menekan kepalaku agar berjalan merunduk. Jadi, kami berpegangan dan merangkak. Terdengar suara kaca pecah dan ledakan kecil. Aku dan seorang perempuan lain menjerit. Seorang laki-laki meneriakkan perintah yang tidak bisa kudengar jelas di tengah batuk-batuk hebatnya. Itu mungkin tukang kebun Mom. Dia merayap di belakangku dan terus-menerus mendorongku agar merangkak lebih cepat.

Kami akhirnya sampai ke halaman depan. Kami melewati kaca jendela depan yang pecah berantakan. Telapak tangan dan bahuku tergores pecahan kaca. Rambutku yang menyapu lantai saat merangkak membawa beberapa beling dan abu. Kulepas handuk basah di mulutku begitu merasakan rumput basah.

Kurebahkan diri di atas rumput basah dan mengambil napas sebanyak yang kubisa.

"Tidak, Hellene. Jarak kita masih terlalu dekat. Rumah ini bisa meledak," bentak tukang kebun Mom lagi sambil menyeret tanganku menjahi rumah. Aku pasrah. Sesak di dada membuatku tidak bisa bergerak lagi.

Raungan sirine polisi dan pemadam kebakaran terdengar mendekat. Apa yang dilakukan keparat-keparat bodoh itu? Kenapa mereka lambat sekali? Mom sudah membayar perusahaan keamanan. Seharusnya mereka bisa sampai lebih cepat.

Aku ingin mengamuk dan memaki semua orang yang turun dari mobil-mobil itu. Untung saja tidak ada tenang lagi yang tersisa. Ini malam keberuntungan mereka.

Seseorang mengangkatku dengan lembut. Aku membuka mata. Seorang polwan menyentuh bahuku. Senyum canggungnya membuatku semakin kesal.

"Kau baik-baik saja, Miss Miller?"

"Aku masih hidup kalau itu yang ingin kau tahu," jawabku ketus.

"Bagus kalau begitu." Dia membawaku ke jalanan dan mendudukkanku di bagian belakang ambulan. Seorang tenaga medis menyelimutiku dan memberiku air mineral. Dia mengeluarkan stetoskop dari kotak kuning.

"Tolong tarik napas," ucapnya dengan suara pelan, namun tegas. "Bagus, Miss. Lakukan lagi dan lagi. Oke. Kau baik-baik saja." Dia tersenyum.

"Kau berharap aku mati?"

Laki-laki itu mengangkat alis. "Tidak. Kalau kau mati tugasku akan semakin berat, Miss Miller." Dia terkekeh. "Duduk di sini dan aku akan memeriksa lukamu," ucapnya lagi dengan suara ramah.

"Microwave meledak. Itu yang bisa kusimpulkan. Kondisi di dapur hancur sekali." Seorang polisi berbicara dengan rekannya.

"Sial, Lauren Miller tidak meninggalkan apapun selain abu."

Aku berhenti mendengarkan. Di dalam pikiranku ada satu hal yang berdentum seperti meriam. Kenapa microwave bisa meledak? Semua orang di rumah itu tahu kalau Mom tidak suka memakai microwave. Di dapur kami, Microwave hanya pajangan. Tidak ada makanan yang dihangatkan. Kami juga tidak pernah memasak makanan beku. Mom paling selektif pada apa yang masuk ke dalam perutnya dan perutku. Mom pernah membentakku ketika membeli makanan beku yang sedang tren di sekolah.

Lalu, aku melihatnya. Laki-laki itu berdiri tidak jauh dariku. Sarung tangan kulitnya berkilau di tengah nyala merah lampu rotari pemadam kebakaran. Wajahnya tersenyum menatapku. Ketika menyadari tatapanku, laki-laki itu berjalan mendekat.

Aku tahu apa yang dilakukannya. Aku tahu kenapa dia berkeliaran di dalam rumahku. Aku akan menghajarnya.

Tanpa berpikir panjang, Aku berlari menerjang Raymond Shaw. Aku menjerit dan memukulinya. Laki-laki itu bergeming. Dia memegangi tanganku dan memelukku dengan sangat erat. Aku tidak berhenti. Paling tidak, polisi akan melihatku dan tahu kalau Bajingan ini yang membakar rumahku.

"Hentikan, Hellene. Kau tidak perlu repot begini." Suara Raymond Shaw yang tenang membuatku berhenti bergerak. Aku menatapnya. Wajahnya tenang dengan senyum yang terlihat bijaksana, berbeda dengan kesan yang kudapat darinya sebelum ini.

Senyum mengembang pada wajahnya yang berpendar kemerahan karena nyala api di du dekat kami. Mata hijaunya jadi hitam, berkilat indah seperti batu onix di pameran perhiasan.

"Kau seharusnya tahu siapa aku, Hellene. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkanmu. Kalau kau masih menolak sekarang, aku akan terus mengejarmu sampai pilihannya adalah Veinmere atau mati," ucapnya dengan tenang seolah dia adalah pencabut nyawa yang siap mencabik jiwaku.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang