Veinmere or Death

10.6K 1.4K 24
                                    

Wuah... Maaf yaaa...

Saya terlambat sekali update-nya. padahal udah pengen banget update setiap hari. tapi dua hari ini saya disibukkan dengan membuat outline untuk sebuah cerita teenlit romance. Hehehe...

Sepertinya untuk kali ini akan saya ikutkan lomba lagi. Mohon doanya, ya. Setelah menjadi finalis di GWP3 dan Wattpadlit Awards 2017, saya makin penasaran untuk terus mencoba. Hehehe...

Tidak. Saya bukannya kalah. Tapi saya baru berhasil menjadi finalis. Hihihi...

Look at the bright side! Kalau kita memikirkan kalahnya, gagalnya, tidak berhasilnya, kita tidak akan bisa menghargai diri sendiri. Saya tidak pernah melihat kegagalan. Saya berhasil meraih sesuatu yang belum maksimal.

Yes, the best of me yet to come.

Semangat, ya, Readers, karena saya terus semangat untuk berkarya untuk menghibur Readers. *wink

With love,

Honey Dee

***

 "Musim panas di Veinmere sangat indah. Sepupu-sepupumu juga baik. Mereka akan mengajarkanmu banyak hal."

Suara Raymond Shaw terdengar sangat tenang dan ringan, tidak seperti orang yang baru saja menghanguskan rumah besarku. Dia duduk bersandar di sandaran kulit bangku penumpang limosin dengan santai. Dia sama sekali tidak peduli aku masih memakai piyama dan bertelanjang kaki. Dia tidak menungguku membersihkan sisa abu dan wajah.

Aku tidak ingat pernah membenci manusia seperti ini. Dia yang baru kukenal kemarin berani mengatakan kalau aku anaknya. Dia yang baru kukenal kemarin membakar rumahku sampai rata dengan tanah. Kemarin. Bagaimana kalau aku mengenalnya satu tahun? Apa lagi yang akan dihancurkannya dari hidupku?

"Aku tidak akan mengulur waktu dan membuatmu mengubah pikiran, Hellene," ucapnya saat kami menaiki pesawat pribadi menuju lapangan udara pribadi dengan segala kemewahan Shaw. Entah niatnya memang pamer atau beginilah gaya hidupnya. Dan, inilah ayah biologisku.

SIALAN!

Hidupku pas sekali. Lihat ayah ibuku. Rasanya aku punya darah bajingan di dalam tubuh ini. Tidak perlu jadi peramal untuk membaca masa depanku.

"Apa cuma kau yang Bajingan di keluargamu?" tanyaku sambil menatap tajam padanya. Kuharap dia benar-benar paham kalau aku marah. Kalau bukan karena supir berbadan besar yang mungkin akan melipat tubuhku kalau berani macam-macam, sudah kuhancurkan wajah tampannya itu.

"Mungkin." Raymond Shaw mengangkat bahu. Wajahnya sama sekali tidak terlihat tersinggung. "Harus ada satu orang yang memimpin kelompok, Hellene. Harus ada satu orang yang mau melakukan apa saja."

"Termasuk membakar rumah?"

"Ya, kalau memang perlu."

"Apa otakmu tidak berpikir kalau mungkin aku akan mati di dalam sana?"

"Aku memikirkan kemungkinan itu. Makanya kuatur agar polisi dan pemadam kebakaran datang tepat waktu." Dia tersenyum lebar. "Ternyata kau bisa keluar dari rumah itu lebih cepat."

"Kau tidak memperhitungkan aku akan terluka atau patah kaki?"

Raymond Shaw mengeluarkan suara tawa yang terdengar mantap. Semua hal yang ada padanya terlihat hebat. "Kau keturunan Shaw, Hellene. Sedikit luka tidak akan membunuhmu."

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang