Dark Fire

10.1K 1.4K 26
                                    

Setelah sempat turun sampai ke peringkat 500an, sekarang The Only Love We Have naik lagi ke peringkat 286. Horeeee!!!

Terima kasih banyak, Readers yang telah membaca dan voment cerita ini.

Kalau kalian suka, mohon bantuan untuk promote ceritanya, ya.

Saya payah sekali. Sekarang sedang membuat cerita untuk ikut ke sayembara menulis. jadinya gak pernah promote lagi. Paling banter share di twitter saja. Huhuhu...

Baca terus ceritaku, ya.

Hari ini mau update beberapa cerita biar nanti malam bisa mulai mengerjakan bab pertama cerita yang akan ikut sayembara. Doakan saya, ya...

Terima kasih.

With lots of love,

Honey Dee

***

Raymond Shaw benar. Veinmere memang sangat cantik. Matahari bersinar cerah dan warna hijau terlihat sangat indah. Tempat ini jauh lebih segar dari pada sesaknya wall street. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat deretan semak yang menjalar di pagar peternakan.

Tempat ini seperti bukan bagian dari Amerika. Rasanya aku memasuki negeri dongeng, tempat angsa dan kuda berkeliaran dengan bebas.

Yang dimaksud West Side oleh Raymond adalah tanah leluhur Shaw. Sebuah peternakan dan perkebunan yang sangat luas. Aku bisa melihat danau dari kejauhan. Butuh waktu sekitar sepuluh menit dari gerbang West Side untuk sampai di depan rumah Shaw. Itu dengan kecepatan tinggi, loh. Gila!

Seorang gadis berlari masuk ke dalam dengan panik ketika limosin berputar di halaman.

Raymond Shaw menarik napas panjang ketika mesin mobil berhenti. Bukan lega. Dia lebih terlihat seperti sedang mempersiapkan diri untuk sesuatu. Dia tidak berbalik untuk menatapku. Dia tidak mengatakan apapun saat membuka pintu mobil dan keluar. Dia juga tidak menyapa orang-orang yang berbaris di depan rumah. Raymond Shaw hanya berjalan seolah tidak melihat mereka sama sekali.

Bukankah mereka keluarganya?

Pelan-pelan, aku keluar dari mobil. Lantai batu di bawah kakiku terasa hangat di pagi cerah ini. Tapi, tak berapa lama kemudian, aku bergidik. Perutku terasa teraduk berada di tempat asing hanya dengan memakai piyama.

"Ah, Hellene. Kau memang secantik Lauren." Seorang perempuan paruh baya menyentuh tanganku dengan lembut. Dia tersenyum dan seperti menahan air mata.

Siapa dia?

Seorang gadis berambut cokelat sama denganya menghampiriku. Dia tersenyum lebar hingga gigi yang warnanya terlalu putih itu nampak bersinar. "Aku Bea. Semoga kita bisa jadi teman, yah."

Aku cuma bisa berdiri kaku saat gadis itu memelukku. Asal tahu saja, pelukan bukan bahasa tubuh yang akrab denganku. Mungkin gadis ini anak cheerleader yang selalu menyempatkan diri berpelukan dengan sesamanya setiap kali bertemu. Yang jelas, aku bukan sebangsa mereka.

"Bea, dia pasti sangat lelah. Kau bisa mengantarnya ke kamar. Astaga, Raymond tidak memakaikannya jaket atau apa. Apa dia memperlakukanmu dengan buruk?"

Aku membalas tatapan penuh kekhawatirannya dengan tarikan garis lurus di bibir. "Kalau percobaan pembunuhan berencana dengan membakar rumah tidak termasuk dalam perlakuan buruk, sejauh ini perlakuannya baik-baik saja."

Perempuan tua itu menatapku dengan mata terbelalak.

"Apa maksudmu?" Dia menarik wajahnya seperti melihat kotoran di wajahku.

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang