Lauren: Nightingale of a Nightmare

4.6K 802 80
                                    

Aku merasa menjerit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merasa menjerit. Aku juga merasa menangis. Aku merasa menggerakkan seluruh tubuhku untuk mencoba berlari. Aku ingin lari dari mimpi buruk mengerikan ini. Kalau memang ini bukan mimpi buruk, aku ingin tidak berhenti berlari.

Sesuatu menahanku, sesuatu yang hangat dan agak menyakitkan. Di mana?

Aku membuka mata, merasa wajahku hangat dan sakit sekaligus.

Raymond di depanku, wajahnya sangat dekat denganku. Tangannya memukul-mukul pipiku. Melihatku sudah membuka mata, dia berhenti. Matanya terlihat khawatir. Aku mengerjap, bisa merasakan hangat napasnya. Ini terlalu dekat. Aku tidak boleh sedekat ini dengannya.

Aku bingung harus mengatakan apa. Apa aku harus memintanya agar menjauh dariku? Apa aku diam saja mencengkeram kausnya begini?

"Maaf," kataku tergagap. Kuputuskan inilah yang seharusnya kuucapkan agar kami bisa saling menjauh. Dia hanya membantuku karena aku mimpi buruk dan aku hanya menggenggam bajunya karena ketakutam itu saja, tidak ada alasan lain.

Tapi, dia tidak melepaskan tanganku. Dia tersenyum, lalu berkata, "terima kasih."

"Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Mengizinkanku sedekat ini denganmu. Aku jadi merasakan ini."

Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan "ini". Aku hanya membalas senyumnya dengan canggung. Aku beringsut membuat jarak di antara kami. Dia tetap pada tempatnya, berbaring menyamping, mengawasiku.

Aku sangat haus. Aku ingin minum, tapi tidak berani mengatakannya. Apa sebaiknya aku ke kamar mandi saja?

"Ada apa?" tanyanya sambil memperbaiki posisinya agar bisa bersandar pada kepala tempat tidur. Tangannya menarik bagian ujung rambutku memberi sensasi geli yang membuatku merinding. "Tidur saja lagi. Ini belum pagi," katanya dengan nafa seperti perintah dalam suara rendah.

Aku bingung. Apa aku harus mengatakan padanya kalau aku haus atau tidak?

"Lauren?"

Aku mengerjap, lalu mencoba berkata, "aku ... haus."

"Ah!" katanya seperti orang terkejut. Dia menyibakkan selimut dan melompat turun dari tempat tidur. Dia bergerak cepat ke meja di dekat pemutar musik untuk menuangkan segelas minuman dari botol kaca tinggi yang cantik. Dia memberikan sedikit minuman dalam gelas kaca kecil. "Maaf. Aku tidak sensitif."

"Tidak, Sir--Raymond. Aku ... ingin air saja."

Dia mengangkat alis. "Air seperti air keran?"

Aku mengangguk. Dia mengerutkan alis seperti orang bingung, lalu mundur untuk memberiku jalan ke kamar mandi. Pada bagian samping keran wastafelnya yang berbentuk seperti paruh burung ada gelas yang masih menelungkup. Aku menggunakan gelas itu untuk minum. Biasanya, pelayan hampir tidak pernah memakai gelas untuk minum. Semuanya meminum langsung dari keran atau pancuran, praktis dan bisa langsung meneguk banyak air. Kurasa, seorang terhormat seperti dia sama dengan ibuku yang mengomel jika ada orang minum langsung dari keran.

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang