Man in Funeral

17.4K 1.6K 23
                                    

Hi, Dear Readers,

Saya update lagi hari ini untuk memperingati satu tahun akun wattpad ini. 

Cerita ini sudah berbeda dengan cerita sebelumnya. Genrenya juga sudah saya ubah menjadi general fiction karena ceritanya nanti akan sangat kompleks. Katanya sih cerita ini terlalu berat untuk bacaan online seperti Wattpad. Ah, nanti Readers bisa memutuskannya sendiri. Semoga Readers suka dan terhibur dengan cerita ini.

Jangan lupa vote dan comment, ya. 

XOXO

Honey Dee

***

Tujuh tahun sebelumnya.

Kau tahu seperti apa pemakaman?

Orang-orang berpakaian serba hitam menatap sedih—atau berharap terlihat sedih—pada lubang menganga di tanah. Mereka bukan sedang mencari makan. Mereka orang-orang yang sehari-harinya terlalu lama mengangkat kepala sampai kaget saat melihat lumpur yang menempel pada sepatu kulit mengilap mereka. Beberapa dari mereka memakai pakaian baru yang mahal seolah lupa kalau yang mereka hadapi hanyalah jajaran mayat di dalam tanah berlapis rumput hijau. Mungkin, mereka belum pernah datang ke pemakaman dan berpikir tempat ini sama dengan Runway. Kacamata hitam trendi menutupi mata yang aku yakin tidak sedang menangis. Buat apa menangisi Lauren Miller? Dunia sudah sedikit nyaman dengan berkurangnya satu perempuan simpanan. Bukankah sudah terlalu banyak rumah tangga yang hancur di tangan si Cantik Lauren Miller?

Beberapa orang melemparkan bunga-bunga mahal ke dalam liang sebelum petugas menutupnya dengan tanah. Aku memperhatikan ekspresi mereka ketika melempar bunga-bunga kecil. Puas, kurasa ini yang tepat. Sebagian dari mereka bahkan kesulitan menahan senyum, lalu berdehem keras atau terbatuk untuk menutupi bibir dengan tangan.

Aku tidak menyalahkan mereka. Aku juga membenci Mom, sama dengan kebenciannya padaku. Aku menjadi anaknya hanya karena berasal dari rahimnya. Kalau bisa memilih, Mom pasti akan melahirkan anak lain. Siapa saja, asal bukan aku. Kalau mabuk, Mom menunjuk hidungku sambil menjerit, "Kau anak haram tidak tahu diri. Seharusnya aku tidak berkorban untukmu. Seharusnya kubunuh dari dulu."

Tidak ada sakit hati. Aku sudah kebal. Mom sudah terlalu sering melakukannya. Bukan hanya saat aku membuat kesalahan, Mom mengatakannya setiap mabuk, melihatku melakukan hal yang tidak disukainya, berdebat denganku, atau kapanpun dia mau. Seperti vaksin, aku sudah menciptakan kekebalan sendiri. Meskipun biasanya Mom mengatakan itu sambil membanting satu dua barang sampai pecah, aku tidak peduli. Aku akan memasang earphone dari MP3 player kecil mungil yang selalu terselip di kantong rok.

Melihatnya mati adalah seperti menemukan tombol mute atau tombol off untuk menghentikan jeritan yang membuat hidupku semuram tanah pemakaman. Mungkin ini alasanku sama sekali tidak menangisinya.

Bagaimana dengan mereka semua? Kenapa mereka membenci Mom? Apa Mom juga sering menjeriti mereka dengan kata-kata kotor juga? Apa karena Mom simpanan senator Fletcher yang tiba-tiba terkena stroke saat mendengar berita kematian Mom? Apa karena Mom sangat cantik sampai membuat mereka semua iri? Apa karena Mom mati bunuh diri?

Tidak usah dijawab. Tidak masalah. Aku tidak membutuhkan jawaban. Tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentang Mom, kubur sudah mengakhiri semua kekacauan yang telah dibuatnya.

Lalu, aku melihatnya.

Laki-laki itu menjadi orang terakhir yang melemparkan bunga ke dalam kubur Mom. Dia memakai kacamata hitam juga. Setelan resminya terlihat mahal dan serasi dengan sepatu dan sarung tangan kulitnya. Dandanan apa itu? Sarung tangan itu terlalu konyol dipakai pada awal musim panas. Apa dia tidak kegerahan?

Sejauh pengamatanku, dia baik-baik saja. Dia tidak terlihat melonggarkan dasi atau sarung tangannya.

Dia melemparkan mawar merah yang masih berduri. Toko bunga mana yang menjual mawar dengan duri sebanyak itu? Apa karena dia baru memetiknya?

Dia berpaling padaku. Aku yakin, mata di balik kacamata itu menatapku. Hanya kami yang tertinggal di tanah pemakaman itu. Kacamata hitamnya memantulkan bayanganku. Rambut cokelatnya tersisir rapi menyamping di kepalanya seperti seorang bangsawan atau pebisnis di televisi. Jarak kami hanya selebar liang kubur Mom dan aku sama sekali tidak tertarik untuk membuka pembicaraan dengannya. Tapi, aku juga merasa tidak ingin melepaskan pandangan darinya.

"Hellene!" panggil seseorang di kejauhan. Aku menyipitkan mata untuk mengenali orang yang memanggilku. Gagal. Yang kutahu dia perempuan dengan gaun resmi hitam yang nyaris serupa dengan perempuan-perempuan lain. Kedua tangannya menangkup di sekeliling mulut agar bisa menghasilkan suara lebih keras. "Hellene!" panggilnya lagi.

Aku berpaling pada laki-laki itu sebentar, ragu apa yang harus kulakukan padanya. Apa ucapan terima kasih karena telah datang ke pemakaman Mom? Apa aku harus bertanya kalau dia mau ikut pada upacara perkabungan di rumahku setelah ini?

Aku mengedipkan mata beberapa kali, berusaha memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Toh, aku tidak kenal siapa dia. Bisa saja dia hanya teman Mom yang menyukainya diam-diam. Bisa juga dia pernah kencan dengan Mom satu-dua kali. Mungkin Mom sendiri sudah melupakannya.

Bukan urusanku.

Tanpa mengatakan apapun, aku berjalan ke arah perempuan itu. Dia melambaikan tangan lagi dengan sekuat tenaga. Suaranya sudah serak karena terus-menerus meneriakkan namaku. Dia menunjuk limosin hitam di depannya. Ya, aku tidak mungkin salah. Itu limosin. Untuk menghadiri pemakaman? Ah, ya. Sosialita. Mereka memamerkan apa saja pada siapa saja. Mereka berusaha membuat orang melihat dan kagum. Mereka bukan hidup dengan oksigen. Mereka hidup dengan menghirup kekaguman dan prestis. Sama seperti Mom.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang