All The Tears I Can't Have

11.3K 1.5K 20
                                    

Dear Readers,

Yay...
The Only Love We Have masuk ke nomor 338 in general fiction 😍😍😍 

Malam ini saya update lagi. Mohon maaf kalau ada typo karena ini dari hp. Hehehe...
Sampai keram tangan saya ngetiknya 😂😂😂

Sukaaaa banget. Perjalanan hidup Hellene memberi saya banyak pelajaran untuk lebih mencintai hidup. Semoga begitu juga ya untuk kalian 😘😘😘

Love,

Honey Dee

***


Raymond Shaw masih berdiri di depanku seperti patung. Dia tidak bergerak atau berkedip. Mungkin dia menunggu reaksiku atas kalimat yang diucapkannya barusan. Dia bilang kalau dia ayahku? Maksudnya, hampir delapan belas tahun lalu dia dan Mom pernah berhubungan intim dan menghasilkan aku? Bukan tidak mungkin mengingat Mom memang mengincar laki-laki kaya. Mom juga sangat cantik. Pasti delapan belas tahun lalu Mom menjadi pujaan banyak orang. Bukan hal yang mengejutkan. Aku bisa jadi anak siapa saja. Tapi, kenapa sekian lama dia baru muncul di depan hidungku dan mengakuiku sebagai anaknya?

"Lalu, apa urusanmu di sini?"

Ya, apa urusannya? Kenapa dia baru datang setelah kematian Mom? Apa itu yang membuat Mom sangat membencinya? Ketidakpeduliannya pada anak sendiri?

"Kau tidak terkejut atau apa?" Alisnya mengkerut. Mata hijaunya terlihat suram. Makin lama, aku merasa makin akrab dengan mata hijau itu.

"Melihat bagaimana pergaulan Mom dan bagaimana cara dia hidup, aku sama sekali tidak terkejut," ucapku tenang. "New York sangat keras, Mr. Shaw. Orang secantik Lauren Miller punya cara sendiri untuk bertahan di kota ini. Sudah lama aku memaklumi hal ini."

Raymond Shaw menarik ujung bibir kirinya, lalu menunduk. "Kau tidak boleh bicara begitu tentang ibumu, Hellene."

"Mom tidak pernah melarangku mengatakannya. Dia mengatakan dengan jelas di depan wajahku kalau dia pelacur. Dia hidup dengan menjual cinta ke laki-laki menjijikkan yang ketagihan pelukannya. Itu cara perempuan bertahan hidup di kota ini."

Dia seperti akan mengatakan sesuatu. Tapi, dia menutup bibir lagi dan menelan ludah. "Dia punya alasan."

"Ya, aku tahu," balasku singkat. "Tidak mudah menjadi social climber. Dia butuh modal untuk semua ini." Aku menatap sekeliling rumah. Raymond Shaw mengikuti gerakan mataku. Rumah berlantai dua ini memang bukan yang termewah di Urban Estate, New York. Tapi, rumah ini sangat berlebihan untuk perempuan tidak bekerja yang menamai dirinya sosialita. Siapa berani mengusik Mom? Senator menjadi penjaminnya.

Kami berdiri berhadapan dalam diam. Aku memainkan pita hiasan di rok hitam sambil berharap punya alasan untuk meninggalkannya. Raymond Shaw membuka dan menutup genggaman tangannya yang tertutup sarung tangan kulit. Bunyi dari gesekan sarung tangan kulit itu membuat ngilu. Aku ingin melarangnya, tapi entah kenapa lebih memilih diam dan menikmati sensasi ngilu itu.

Raymond Shaw menarik napas panjang. "Aku ingin kau ikut denganku ke Veinmere sebagai anggota keluarga Shaw."

"Hah?"

Orang gila macam apa ini? Seenaknya saja! Baru beberapa menit lalu dia mengaku ayah biologisku.

"Mr. Shaw, kau lucu. Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang kau datang dan mengaku sebagai ayahku? Kau bahkan tidak ada saat Mom sekarat."

"Aku di sana," jawabnya cepat. Dia menjilat bibir bawah dengan gugup. "Aku menemuinya. Dia masih membenciku. Dia masih tidak bisa memaafkanku."

Mom memang orang yang temperamen dan impulsif. Mom membenci banyak hal. Tapi, aku tidak tahu bagaimana cara membenci orang selama itu. Kesalahan apa yang dibuatnya?

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang