Aku merasa bodoh.
Gaun ini terlalu berkilau, terlalu terbuka, terlalu mewah, terlalu ... bukan aku. Gaun ini membuat aku tidak bisa melihat orang lain, tidak percaya diri dengan langkahku sendiri.
Semua orang melihatku dengan pandangan ingin tahu. Sebagian dari mereka tersenyum menyukaiku dan sebagian lagi mengerutkan kening. Kebanyakan yang mengerutkan kening itu perempuan. Mereka terlihat tidak suka dengan gaun yang kupakai. Semua itu membuatku merasa dihakimi dan diperhatikan. Untuk orang yang terbiasa duduk di dalam kegelapan untuk mengamati orang lain, yang mereka lakukan membuatku amat sangat tidak nyaman.
Gaun ini memang mengesankan. Kilauannya membuatku seperti berpendar dalam gelap. Lampu-lampu yang menyorot di alun-alun Downtown ini menghujaniku dengan sinar kekuningan. Gaunku memantulkan cahayanya dengan luar biasa. Roknya ringan, melambai halus setiap kakiku bergerak. Stoking hitam yang kugunakan membuat penampilanku jadi leboh misterius. Tilda berkata, "laki-laki lebih penasaran pada yang tertutup daripada yang benar-benar terbuka, asal kau tahu cara yang tepat untuk menutupnya."
Mantel pendek hitam yang terikat di leherku cukup untuk melindungiku dari rasa dingin akhir musim gugur ini. Untung saja Oktober ini angin masih cukup hangat. Aku masih punya harapan pulang dalam keadaan hidup, bukan menjadi patung es.
"Cantik sekali," kata seorang lelaki berpakaian koboi dengan rompi kulit khas Indian yang tidak cocok sama sekali dengan keseluruhan kostumnya. Dia melepas topinya untuk memberiku penghormatan.
Aku menunduk sedikit untuk mengucapkan terima kasih padanya. Setelah itu, beberapa laki-laki melakukan hal yang sama, mengagumiku.
Aku sendiri takjub saat melihat diriku di cermin. Ketika keluar dari rumah Tilda, aku melihat diriku di kaca depan. Aku mirip penyihir sungguhan. Gaunku berkilau dan aku membawa tongkat kecil yang pura-puranya sebagai tongkat sihirku. Wajahku merona dengan make up menawan yang diberikan Tilda. Kulit tanganku yang tidak tertutup sarung tangan dan mantel nampak berkilau karena losion. Tilda tertawa puas melihat keseluruhan penampilanku malam itu.
"Tegakkan punggungmu, Lauren Miller! Banggalah dengan kecantikanmu. Kau memiliki segalanya." Tilda berseru dari teras rumahnya.
Dia sendiri menolak tampil dalam acara apa pun. Dia sudah memberi kontribusi dengan memasak beberapa kue dan daging panggang untuk sajian, tapi tidak ingin keluar rumah sesenti pun. Dia hanya berkata kalau banyak hal yang harus dilakukannya, tapi kalau kuingat-ingat, Tilda memang tidak pernah menampakkan diri pada pesta apa pun. Saat pesta di rumah Shaw waktu itu juga dia tidak lama berada di ruangan pesta. Dia menyelinap pergi begitu saja. Kupikir, mungkin sebenarnya dia merasa canggung berada dalam keramaiam, seperti aku. Mungkin juga dia tidak ingin bertemu siapa pun.
Entahlah.
Aku sendiri sangat ingin pulang di pesta ini. Kalau boleh, aku ingin kembali pulang dan tidak bertemu siapa pun, tapi Tilda bersumpah kalau dia akan membunuhku jika aku berani pulang sebelum tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
Roman d'amourAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...