Ciuman Henry seperti api yang membakar tubuhku, menarik kecemasan dan menghancurkan keraguanku. Dia membelai dengan lembut dan mencium dengan sangat panas. Wajahnya memerah. Mata biru kecilnya menatapku dengan sayu. Binar di matanya mengatakan betapa dia bahagia saat bersamaku hari ini. Aku tidak akan lupa saat dia menggandeng tanganku ke luar dari mobil Tilda. Tawanya bahagia, menyatu dengan tawaku. Tangannya hangat dan basah karena keringat. Bajunya lengket pada tubuhnya, sama dengan aku.
Dia mengajakku ke belakang rumahnya, tempat danau buatan besar terlihat sangat indah. Rumah danau kecil yang dibuat dengan kesungguhan dan jiwa seni tinggi menghiasi danau dengan keanggunan. Bunga-bunga disekitarnya berkembang dengan sangat indah. Siapa pun yang membuat danau dan taman itu, pasti memiliki kecintaan besar terhadap alam. Walau danau ini jauh lebih kecil daripada danau di South Lot, tapi keindahannya tidak kalah.
Henry melepas pakaiannya dan menceburkan diri ke danau. Dia mengusap rambutnya yang basah. "Lompatlah," katanya sambil melambai padaku.
Aku menggeleng. "Itu bukan ide bagus."
Dia tertawa. Dengan gaya tak peduli, dia melipat tangan di belakang kepalanya, lalu berenang dengan punggungnya. Kakinya mengayuh dengan luwes. Makin lama, ekspresinya makin menghinaku. Dia menantangku untuk bergabung dengannya.
"Tidak semua orang bisa berenang. Aku tahu itu. Tidak semua orang memiliki kemampuan ini," katanya dengan ekspresi sombong yang menyebalkan.
Aku tersinggung dengannya. Walau hanya sedikit, aku bisa berenang. Tentu saja aku bisa kalau hanya mengapung saja.
Kulepas pakaian luarku dan melompat ke danau itu. Kukejar Henry yang mulai berenang lebih serius. Dia tertawa saat aku berteriak memanggilnya. Lalu, dia menyelam, menghilang dari pandangan.
"Henry? Henry? Di mana kau."
Di tidak mungkin tenggelam. Ini halaman rumahnya. Tapi, bagaimana kalau dia mengalami keram otot? Dia tidak melakukan pemanasan sebelum berenang.
"Henry? Henry, ini tidak lucu. Henry--"
Dia menarikku dari bawah, menenggelamkanku, menciumku di bawah air. Entah mana yang ternyata lebih manis, mulut Henry atau air danau ini. Walau dari tadi kami sudah berciuman sampai sesak, kali ini rasa ciuman itu benar-benar berbeda, lembut dan mengesankan. Saat kami keluar karena tidak bisa menahan napas lebih lama, rasanya aku kecewa sekali. Aku ingin lebih lama di bawah sana, menikmati bibirnya yang menggoda.
"Paman Henry?"
Aku terkejut dengan panggilan itu.
Anak kecil, sangat kecil, mengisap jempolnya di pinggir danau, memperhatikan kami. Wajahnya merah. Rambutnya berwarna cokelat gelap, panjang hingga bahu dengan ujung melengkung yang manis. Aku tidak bisa menentukan jenis kelaminnya. Dia memakai piyama warna kuning dan membawa selimut warna kelabu yang kelihatannya sudah bertahun-tahun dipeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...