500 Years Tree

7.2K 1K 65
                                    

Aku mengikuti Jack

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengikuti Jack. Dia berlari sambil menuntun sepedaku. Seharusnya, akan lebih praktis kalau dia mengayuh sepedaku cepat-cepat, bukannya terus menoleh untuk melihatku masih di belakangnya atau tidak. Kakiku lebih pendek darinya, tentu saja aku akan terus tertinggal.

Dia menjatuhkan sepeda di semak dan menutupi sepeda itu dengan belukar lain sampai sepeda itu tidak terlihat. Lalu, dia menelengkan kepala padaku untuk memberi tanda agar aku mengikutinya. Kami berlari lagi, agak lebih ke dalam hutan.

Aku terkejut saat dia berhenti mendadak. Dia menunjuk pohon yang sangat besar di hadapan kami. Pohon itu yang ada di lukisan Mom. Hanya saja, pohon itu sudah jauh lebih besar sekarang. Tapi, kenapa pohon itu bukan di pinggir danau? Kenapa ada di dalam hutan?

"Ayo!" Dia mengulurkan tangan padaku.

"Ke mana?"

"Bersembunyi."

"Kita akan memanjat pohon?" Aku mendongak, menatap ngeri pohon besar itu. Pasti sangat sulit memanjat batang pohon yang hampir menyerupai kamar itu. Apalagi, aku memakai rok. Yang benar saja!

Pohon itu luar biasa besar. Mungkin, perlu belasan orang dewasa (atau mungkkn puluhan) untuk bisa memeluk pohon itu. Batangnya berwarna kemerahan dengan bagian bawah mencuat ke permukaan seperti kaki yang terkena lepra. Dahannya ada di bagian atas. Aku tidak melihat cara masuk akal untuk mencapai dahan kecuali dengan terbang.

"Aku tidak akan memanjat," tegasku.

"Tidak. Tidak ada yang bisa memanjat pohon ini selain sebangsa kera," katanya sambil tertawa. Sebenarnya, aku mau protes dengan mengatakan bahwa manusia termasuk dalam ordo dan subordo yang sama, tapi dia sudah menarik tanganku mendekat ke pohon itu.

Kami tidak memanjat. Dia mengajakku menyelinap ke dalam bagian bawah pohon itu. Ada celah kecil yang bisa dilalui dengan menunduk sampai sebatas pinggangnya. Setelah melewati celah itu, bagian dalam pohon itu ternyata luas. Hampir mirip kamar yang lembap dan bau apek. Anehnya, di sini tidak terlalu gelap. Masih ada cabaya samar yang membuatku bisa melihat sekitar. Aku melihat sekeliling, mencari asal cahaya lemah itu. Tidak ada. Tidak ada jalan keluar lain selain celah itu. Jack sudah menutupnya dengan batu besar sekarang.

"Kita akan mati kehabisan napas," kataku memperingatkannya.

Dia menunjuk ke atas.

Di bagian atas pohon ada lubang-lubang lain. Sinar matahari menyusup masuk lewat lubang itu, membuat garis-garis cahaya yang bersilangan. Satu sinar paling besar memancar langsung ke bawah, pada kami. Cahaya ini mirip spotlight besar yang menerangi tempat ini. Magis sekali.

"Tupai dan binatang pengerat lain yang membuat ini," bisik Jack pelan. Lalu, dia menempalkan telunjuk di bibirnya, menyuruhku diam. Ekspresinya waspada.

Dia menunjuk ke dinding kayu pohon itu dan menyuruhku mengikutinya.

Pelan, dia menggeser batu yang menutupi jalan masuk. Aku jadi bisa mendengar suara di luar pohon ini. Ada beberapa orang yang berbicara dengan nada pelan.

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang