kami terus berciuman. Kami tidak melakukan apa-apa selain menggerakkan bibir kami dengan lembut, bersama-sama, seolah tidak ada makanan lain yang nikmat selain bibir kami. Kami tertawa, menertawakan kerakusan kami. Jika yang satu berhenti, yang lain akan mencari. Ciuman itu tidak ada habisnya, tidak ada rasa bosan di antara kami. Bosan itu saat kau makan terlalu banyak kue dan kau enek, lalu muntah. Bosan juga bisa kau rasakan kalau kau mendengar lagu terlalu sering dan berulang-ulang. Kau ingin yang lain. Tidak dengan ciuman kami. Perutku sudah keroncongan dan tenggorokanku kering, tapi aku sama sekali tidak ingin melepaskannya. Aku memegang bajunya dan dia memegangi tengkukku, kami tidak ingin jauh walau hanya untuk saling memandang.
"Kita ... harus ... kembali ... atau ... orang-orang ... mengirim ... pasukan ... untuk mencari ... kita," kata Henry di sela ciuman kami.
Aku mau saja pulang asal bisa terus bersamanya. Tapi, tentu saja hal itu tidak mungkin. Tilda bisa membunuhku kalau aku ikut ke rumahnya, begitu pula sebaliknya. Kami memang harus kembali ke rumah kami masing-masing, melanjutkan sisa hari ini tanpa ciuman. Aku mengaku, aku kecewa sekali saat dia menjauhkan wajahnya dariku, benar-benar melepas ciuman kami.
Henry membantuku naik kudanya. Dia duduk di belakangku seperti dalam mimpi burukku waktu itu. Saat kuda mulai bergerak, rasanya semua yang kumimpikan jadi nyata. Yang tidak ada dalam mimpiku adalah Henry yang mencium leherku, membuatku cekikikan menahan geli. Dia terus melakukannya, tidak peduli aku memintanya berhenti karena tidak tahan dengan gelinya.
"Bolehkah aku mencintaimu, Lauren?" tanya Henry sambil memeluk pinggangku. "Aku benar-benar merasa pelukan ini sebagai kenyamanan terbaik yang pernah kurasakan. Kuharap kita bisa seperti ini selamanya."
Aku juga berpikir seperti itu. Aku ingin kami begini terus. Sampai saat dia menurunkanku di depan rumah Tilda (Henry bilang rumah itu satu-satunya di South lot karena tempat ini lama tidak berpenghuni) aku masih tidak bisa melepaskan ciumannya. Saat aku berjalan ke depan pintu, dia mengejarku, menciumku hingga aku hampir terjatuh. Aku menabrak dinding dan kami tergelak bersamaan.
"Aku akan datang untukmu," katanya sambil menggigit bibir. Sebelum meninggalkanku, dia memberiku satu ciuman lagi, sebuah ciuman yang membuat lidahku terasa kelu.
Tuhan, aku benar-benar bahagia. Aku merasa seperti tidak ingin apa pun. Hanya Henry dan ciumannya saja sudah cukup bagiku. Rasanya seperti melayang saat aku berjalan ke teras rumah putih Tilda dan mengetuk pintunya. Aku menunggu dengan sabar di teras saat tidak ada yang menjawab ketukanku. Mungkin Tilda masih membereskan barang-barangnya di lantai atas. Rumah ini terbuat dari batu bata, bisa jadi ketukanku tidak terdengar sampai ke lantai dua. Ada truk di halaman. Aku tidak yakin Tilda sendirian atau bersama supir truk itu.
Setelah langit sudah agak gelap, aku memutuskan untuk memutari rumah itu, mencari jalan lain untuk masuk. Rumah itu sangat besar menurutku walau tidak sebesar rumah Shaw yang bisa disebut kastel. Rumah Tilda sejuk dengan warna putih dan banyak jendela kaca bergaya klasik. Bisa kubayangkan saat siang rumah ini pasti dibanjiri sinar matahari yang ceria. Musim panas Veinmere selalu memberikan matahari hangat yang menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...