Prologue

23.9K 1.8K 32
                                    

"Hellene!" Tania memanggilku dengan ekspresi terkejut yang teramat.

"Apa? Kau menemukan hal baru tentang penelitianmu? Kau tidak bisa mengubah variabel terus-terusan, Tania. Kau harus menetapkan variabelnya sekarang agar bisa memulai penelitiannya. Tanpa variabel itu, kau tidak akan bisa--"

"Bisa kau tutup mulut sebentar? Aku bahkan tidak memikirkan tentang penelitian itu sama sekali. Aduh, kau ini. Aku jadi lupa apa yang harus kukatakan. Sepertinya penting sekali. Eh? Kenapa aku membawa-bawa laptop ini? Oh, ya! Ini. Kau harus melihat ini."

Dia membuka laptopnya di depan wajahku, benar-benar tepat di depan wajahku. 

"Apa? Bisa kau jauhkan sedikit? Aku bisa mencium aroma kredit yang belum lunas dari laptop ini."

Dia tergelak, lalu memukul belakang kepalaku keras-keras. Ya, dia memang anarkis dan aneh, tapi aku sangat menyayanginya. Kalau bisa, aku ingin sekali melemparnya ke luar angkasa, terserah di bagian mana. Semakin jauh akan semakin baik. 

Dia menyentuh mousepad dan memperlihatkan Youtube padaku. Video di Youtube itu memperlihatkan gambar yang selamanya tidak akan kulupakan.

"Hellene, dia memanggil namamu. Semua orang membicarakanmu sekarang. Apa kau mengenalnya?"

Tania mungkin mengatakan sesuatu. Dia mungkin menyebutkan hal-hal lain yang aku tidak ingin dengar. Aku memang tidak emndengar teman sekamarku itu. Aku tidak peduli padanya. Mataku lurus melihat lelaki di dalam layar laptop itu. 

Laki-laki itu seolah menatapku. Mata biru terangnya cekung, menceritakan banyak kepedihan. Mata itu mengerjap beberapa kali untuk mencegah air matanya jatuh. Apa aku melihat kelelahan di sana? Alisnya berkerut dan wajahnya perlahan memerah. Kedua tangan mengepal di atas meja seperti mencoba berpegang pada sesuatu yang tak nampak.

Dadaku terasa berdebar kencang melihat bibirnya membuka-menutup seolah bingung kata apa yang akan dikeluarkannya lagi. Sebentar kemudian, tangannya menjambaki rambut cokelat tua gondrong di kepalanya. Masihkah selembut dulu?

Masihkah dia suka memakai pomade? Seperti apa aroma rambut itu sekarang? Kupejamkan mata untuk mengingatnya.

Bagaimana aroma keringatnya yang dulu menempel kuat pada tubuhku?

Aku menelan ludah. Mencoba mengingat saja sudah membuatku gemetar. Dia masih memberiku sensasi yang sama, meski tanpa sentuhan. Apa aku masih mencintainya?

"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi," ucapnya parau. Dia menelan ludah. Matanya mengerjap sebelum terpaku pada apapun yang ada di depannya. "Aku tidak punya apa pun tentangnya selain gambar jelek ini," lirihnya sambil mengangkat sketsa pensil yang lebih mirip coretan prakarya anak SD daripada sketsa wajah untuk mencari orang hilang.

Aku tersenyum geli, tapi entah kenapa air mata terus mengalir. Ada sesak di dalam dada yang membuat tidak bisa bernapas dengan leluasa. Kuhirup udara dengan susah payah lewat mulut karena hidung sudah penuh dengan ingus, sama seperti hatiku yang sudah penuh dengan namanya.

"Tolonglah, siapa saja, tolong aku!" Dia berbisik dengan suara yang membuat lututku lemas. "Tolong bantu aku menemukannya. Gadisku bernama Hellene Shaw. Dia mewarisi mata hijau Shaw, rambutnya hitam legam seperti malam dan wajahnya ... kau tidak akan melupakan wajahnya begitu saja. Dia memesona," ucapnya sambil tersenyum.

Aku juga tersenyum. Kusentuhkan ujung jari pada layar laptop yang menggambarkan wajahnya, wajah kekasihku.

Dulu, wajah itu begitu akrab. Wajah itu yang membuatku tetap bertahan hidup pada hidupku, berdiri mempertahankan diriku. 

Wajah tampan itu menggeleng. "Aku akan pergi. Aku akan mencarinya lagi. Aku tidak akan berhenti. Tidak akan pernah. Aku tahu kalau aku akan menemukannya." Dia terdiam. Mata kelabunya seolah menatapku. "Aku tidak akan melepaskanmu lagi, Hellene. Tidak akan. Karena hanya cinta ini yang kupunya."

Dia mematikan rekaman. Layar komputer memperlihatkan gambar statis tangannya meraih sesuatu untuk mematikan kamera.

Aku merasa ada yang memukul bagian belakang kepalaku, tapi anehnya aku tidak merasakan apa pun saat itu. Aku malah merasakan sakit yang teramat pada dadaku, sesak dan perih.

Tania menatapku bingung. "Orang ini viral belakangan ini, Hellene."

"Kenapa aku tidak tahu?"

"Karena kau sibuk dengan proyekmu dan menolak untuk keluar kamar sama sekali. Kau hanya mengetik dan membaca buku siang malam dengan memakan ... mi instan, roti, dan susu yang sudah agak basi. Kau bukan manusia, Hellene. Kau menghancurkan dirimu sendiri."

Aku menggeleng. "Aku tidak menghancurkan siapa pun. Aku hanya ingin mengerjakan semua ini."

Raymond menyuruhku melakukannya. Raymond selalu bisa memaksa semua orang melakukan yang dia inginkan. Aku hanya bagian dari dirinya, bagian dari rencananya. Aku hanya akan menjadi orang yang menurutinya agar dia tidak menyakiti Jack-ku.

Jack? 

Sungguhkah itu Jack?

"Dia menyebut namamu, Hellene. Dia memanggilmu dan dia mencarimu. Apa kau tidak bisa melihat itu?" Tania membelalak marah. "Aku bertanya lagi padamu, apa kau mengenalnya? Seluruh dunia juga akan bertanya hal yang sama padamu. Apa kau mengenalnya?"

Astaga!

Kenal? Apa aku mengenalnya?

Jack? Jack-ku sayang. 

Tentu saja aku mengenalnya. Aku mengenalnya dengan sangat baik.

Aku masih mengingat setiap senti tubuhnya. Aku masih bisa mendengar suara tawanya. Aku masih bisa merasakan napasnya di leherku. Lalu, ciumannya? Apa aku masih bisa mengingatnya? 

Sebentar, aku perlu memejamkan mata sebentar. Uhm, kurasa, aku masih bisa merasakan semuanya. Walau hanya semalam, walau hanya satu hari, aku bisa menghafal semuanya sampai saat ini. Jalan-jalan kecil, pohon dan hutan, senyumannya, langit biru, genggaman tangannya. Tuhan, ada banyak yang berkelebat di kepalaku. Kenapa semua kenangan ini seperti menusuk-nusuk kepalaku?

"Hellene?"

Aku terkesiap. Tania menatapku dengan alis terangkat. "kau baik-baik saja? Kau mengerikan. Apa yang terjadi?"

Setelah mengedipkan mata beberapa kali, kucoba untuk kembali bernapas. Aku tidak sedang mengingat-ingat siapa namanya. Aku masih mengingat semuanya. Aku masih mengenalnya seperti dulu. Aku hanya ... tidak bisa menahan getar yang seperti menyengatku setiap mengingatnya.

Ciuman itu.

Astaga!

Sampai mati aku tidak akan pernah melupakan ciuman itu. Bahkan sekarang aku masih bisa merasakan sentuhan bibirnya yang hangat pada bibirku. Aku masih bisa merasakan lagi tangannya yang hangat memelukku. Sampai kapan pun, ini akan menjadi bagian dari diriku yang tidak akan bisa kulupakan. Seburuk apa pun masa laluku, seburuk apa pun hal yang terjadi di antara kami, tidak sedikit pun aku melupakannya. 

"Hellene?" panggilnya lagi.

Aku menggeleng. Saat aku mendongak padanya, air mataku jatuh, air mata yang dulu di hapus dengan jarinya. 

Aku bisa ingat semua. Kenapa aku bisa melupakannya? Kenapa aku bisa tidak memikirkannya selama ini? Ada apa denganku?

"Hellene? Tolong jangan membuatku takut," kata tania yang benar-benar terlihat cemas.

"Ya." Aku menelan ludah. Air mata yang turun di pipiku semakin banyak. Aku menghapusnya dengan ujung kausku. Namun, aku tersenyum. Perlahan, bibirku berkata dengan penuh suka cita, "dia Jack Cole, suamiku."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang