Perempuan tua itu menepuk-nepuk Tribe dengan lembut. Kuda itu menunduk seperti memberi penghormatan. Memang gaya perempuan itu anggun sekali, sangat pantas untuk dihormati. Caranya tersenyum dan bergerak tidak seperti perempuan masa kini yang terlalu cepat. Dia seperti menikmati semua sentuhan dan gerak tubuhnya. Dia bukan Gandalf, dia elf. Mungkin Galadriel yang akhirnya bisa menua pada zaman modern ini.
"Kau tidak ingin mampir ke rumahku? Aku membuat kue enak. Ibumu mengatakan kue buatanku yang paling enak di Veinmere."
Pernah mendengar bagaimana nenek sihir mengajak Hansel dan Gretel ke rumah kue?
Aku juga belum pernah mendengar. Dari semua cerita yang kudengar, Hansel dan Gretel menemukan rumah kue begitu saja dan memakannya. Tapi, jika nenek sihir itu berkesempatan merayu, kurasa begitulah caranya, lembut, penuh kasih, dan memesona. Jujur saja, dia membuatku ketakutan. Hanya saja, aku tidak bisa menolak karena tidak ingin mengecewakan kebaikannya.
Dia seperti tahu aku tidak mengerti caranya turun dari kuda. Dia membantu memasukkan kakiku pada pijakan kaki, lalu mengulurkan tangan untuk membantuku turun. Mulanya, aku bertanya-tanya apa dia bisa menahan tubuhku. Lalu, dia berkata, "Bawa ke mari kaki kirimu dan merayaplah turun. Tidak ada yang benar-benar mahir saat pertama naik kuda. Tidak apa-apa, Hellene Shaw."
Dia tahu namaku?
Ah, tentu saja. Dia kenal ibuku dan Tribe. Kurasa dia juga pasti mengenal Raymond Shaw. Tidak ada berita yang tidak menyebar di Veinmere.
Aku merayap turun seperti yang dikatakannya. Bukan hal yang mudah karena Tribe itu tinggi sekali. Sekalipun sudah merendahkan kakinya seperti yang diminta perempuan tua itu, Tribe tetap terlalu tinggi untukku.
Perempuan itu memegangi pinggangku dengan tangannya yang lain sambil memberi perintah untuk menurunkan kakiku pelan-pelan sampai menyentuh tanah. Aku heran, bagaimana bisa perempuan tua sepertinya memiliki tenaga besar untuk menahanku?
"Pintar. Kau akan mahir dengan kuda dalam waktu singkat," katanya setelah kakiku berhasil menyentuh tanah dengan baik. Dia menepuk tubuh Tribe beberapa kali, lalu menyerahkan tali kekang Tribe padaku. "Ikat dia ke dekat pohon di sana. Isi air minum dalam ember kayu, lalu bergabunglah denganku di meja makan." Dia menunjuk ke rumah putih yang agak jauh dari tempat kami berdiri.
Setelah itu, dia pergi sendiri ke rumah putih dengan tongkatnya. Jalannya masih tegap. Sepertinya tongkat itu hanya sekadar menunjukkan kalau dia sudah tua. Aku juga berpikir tentang kemungkinan tongkat itu sebenarnya senjata.
Aku butuh beberapa menit untuk pulih dari kebingungan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selain menuruti perintahnya.
Kubawa Tribe ke pohon yang disebutkan. Sepertinya pohon ini memang digunakan untuk menambatkan kuda. Di dekat pohon itu, ada perlengkapan untuk makan dan membersihkan kuda. Aku tidak tahu bagaimana mengikat tali kekang kulit yang berat ini. Kucoba beberapa simpul yang mungkin, tapi rasanya sulit menariknya. Telapak tanganku sampai tergores karena beberapa kali percobaan simpul yang salah. Aku menyerah. Kukaitkan saja tali kekang Tribe di dahan yang menonjol.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...