Shade She Never Tells

12.7K 1.5K 38
                                    

Upacara perkabungan adalah hal paling ironi yang pernah kulihat. Ini adalah pesta tanpa musik dan tawa. Orang-orang minum sampanye dan anggur dan makan makanan kecil yang mereka bawa sendiri. Seharusnya, mereka membicarakan tentang kebaikan hati ibuku atau mengenangnya dengan cara-cara yang indah. Tapi, kenyataannya, kaum laki-laki sibuk berbisik tentang bisnis dan pengaturan peta politik, sedangkan kaum perempuan membicarakan soal merek-merek barang yang baru meluncur ke pasar. Tidak satupun dari mereka yang membicarakan Mom.

Seseorang mengetuk gelas dengan irama meminta perhatian. Aku berpaling kepadanya. Dia perempuan yang memanggilku tadi. Leona Williams, orang yang paling dekat dengan ibuku. Aku tidak mengerti persahabatan macam apa yang mengikat mereka, tapi sejauh ini, hanya Leona Williams yang bersimpati pada Mom.

"Mohon perhatiannya sebentar," teriak Leona sambil mendentingkan gelasnya dengan sendok puding. Semua orang menghentikan pembicaraan mereka dan menatapnya.

Dia berdehem beberapa kali. "Mungkin akan lebih bagus kalau kita membicarakan tentang Lauren sekarang. Kita akan mengenangnya sebagai seorang sahabat yang peduli dan ceria."

Aku belum tuli untuk tidak mendengar suara desis kekecewaan mendengar ide ini. Beberapa tamu terdengar mengumpat ide Lauren. Mereka tidak ingin mengenang Mom. Ini adlaah pesta untuk merayakan kematian Mom. Seharusnya, mereka bisa merayakan dengan lebih meriah lagi.

"Hellene, kau satu-satunya keluarga Lauren. Bagaimana kalau kau menceritakan sesuatu yang membuat kami bisa mengenang Ibumu?"

Sialan! Aku harus bilang apa? Apa aku harus mengatakan kalau Mom pemabuk? Apa aku harus menceritakan kalau Mom mendapatkan kekayaan dari kantong laki-laki kaya? Apa aku harus mengeluarkan catatan daftar umpatan Mom?

Tidak. Harusnya aku mengucapkan hal-hal baik yang bisa kukenang tentang Mom. Hal baik? Apa Mom pernah melakukan hal baik dalam hidupnya? Mom memang pejuang keras. Mom memiliki tujuan dalam hidupnya. Mom selalu berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Begitu Mom memutuskan mendapatkan laki-laki, dia pasti mendapatkannya dalam waktu sekejap. Ya, Mom pejuang tangguh. Mom tidak mau berlama-lama menunggu buruannya.

Tapi, apa itu pantas untuk kuceritakan di sini, separuh ruangan ini pernah kulihat berada di kamar Mom.

Berkali-kali aku menelan ludah. Semua orang menatapku. Mereka menunggu. Mungkin, mereka ingin mendengar hal baik tentang Lauren Miller. Mungkin, mereka berharap bisa menyukai Lauren Miller. Ajaib kalau mereka bisa melakukannya.

Aku menggeleng keras-keras. "Tidak ada. Aku tidak ingin mengatakan apapun lagi tentang Mom." Kuambil napas dalam-dalam. "Dia sudah tenang seperti yang diinginkannya."

Mereka tidak bergerak. Kurasa, mereka masih menginginkanku bicara lebih lama. Jadi, aku mengambil napas lagi. "Aku tidak akan menyalahkan kalian kalau mengutuknya. Tindakan Mom memang mengecewakan. Tapi, paling tidak, kita tidak perlu membicarakannya lagi." Aku diam meremas rok hitam sampai tanganku terasa sakit. "Yang ingin kulakukan sekarang adalah tidur. Tenang saja, aku tidak akan meminum pil tidur sama sekali," ucapku sambil tertawa hambar untuk candaan yang sama sekali tidak lucu. Selain Leona Williams yang mengusahakan tawa terpaksa, tidak ada orang lain lagi yang mengerakkan ekspresi tegangnya.

Aku menelan ludah, meremas rok lebih keras dan berjalan menuju kamarku sendiri.

Mom, yang benar saja! Hidupmu menyebalkan. Sekarang, mati pun kau masih bisa membuatku malu. Hebat!

Baru saja aku akan belok ke tangga ketika kulihat laki-laki itu berdiri memegang foto Mom. Ya, laki-laki dengan sarung tangan kulit di pemakaman. Wajahnya terlihat seperti ada orang yang menginjak kakinya. Dia berpaling padaku. Matanya hijau terang dan dipenuhi air. Sebentar dia mengerjap dan mengusap wajah dengan tangannya yang tertutup sarung kulit.

Hah? Serius? Ada orang yang mau repot menangisi Mom?

Laki-laki itu meletakkan foto Mom dengan hati-hati ke atas meja. Dia mengambil napas panjang sebelum menatapku. Wajahnya terasa akrab dan tampan. Orang akan mengatakan dia bukan laki-laki yang baik. Wajahnya terasa keras dan berbahaya. Mungkin dia anggota parlemen juga yang patah hati karena Mom?

"Hellene."

Aku tidak tahu dia berniat memanggilku atau sekedar menyebut namaku. Suaranya datar dan tidak meyakinkan, seperti mengigau. Tapi, aku mendekatinya juga. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku mengingat Mom.

Jarak kami hanya selangkah. Aku bisa melihat jelas sosoknya sekarang. Dia Raymond Shaw. Mom sangat membenci laki-laki ini. Setiap gambarnya muncul di televisi, Mom akan marah dan menyuruh siapa saja mematikan televisi. Kalau aku atau siapa saja yang ia perintahkan terlambat menekan tombol off, pasti Mom akan membanting sesuatu. Kata Mom Raymond Shaw adalah bajingan, laki-laki terburuk yang pernah lahir ke dunia.

Aku tidak pernah melihat hater seburuk Mom.

Lalu, kenapa sekarang Raymond Shaw ada di dalam rumahku menangisi foto Mom?

"Siapa kau?" tanyaku dengan suara yang lebih tajam dari yang kuinginkan. Aku berdehem dan menelan ludah. Semoga dia tidak menganggap itu sebagai kekurangajaran. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu. Aku juga sedang tidak ingin beramah tamahd engan mengucapkan maaf kepadanya.

"Aku Raymond Shaw," jawabnya sambil mengulurkan tangan. Wajahnya terlihat terpukul. Mungkin karena kaget aku tidak mengenalinya. Laki-laki yang masuk daftar sepuluh orang terkaya di dunia karena mewarisi konglomerasi Shaw.

Aku menghela napas. "Aku mengenal namamu, Mr. Shaw. Maksudku, siapa kau sampai menghadiri pemakanan Mom dan menangisi fotonya. Mom tidak pernah menyebut namamu sebelumnya." Sebenarnya maksudku Mom tidak pernah mau menyebutkan namanya.

Raymond Shaw membuka mulut tanpa mengeluarkan suara apapun, sediam sebelumnya. Helaan napas panjang membuatnya mengakhiri fase kebekuan dan mengangkat wajah untuk menatapku.

"Lauren tidak akan menyebut namaku. Dia tidak akan membiarkanmu menyebut namaku," ucapnya dengan gelengan ringan yang membuatnya terlihat sangat bangsawan. "Dia membenciku."

Aku mengangguk.

Tentu saja aku tahu Mom membencinya. Tidak perlu menjadi anak Lauren Miller untuk tahu kebenciannya terhadap Raymond Shaw.

Jeritan Mom masih terasa membahana di seluruh rumah ini setiap televisi menayangkan wajahnya. Bukan jeritan kagum seperti yang kebanyakan kudengar saat pembantu rumah ini melihat wajah Raymond Shaw. Jeritan Mom penuh dengan kebencian dan frustasi. Mom pernah membanting sebuah TV portabel milik salah satu pembantu hanya karena mendengar Raymond Shaw menyanyi dalam sebuah acara talk show. Mom lebih memilik menggosok lidahnya dengan sikat kawat daripada menyebut nama Raymond Shaw.

"Aku tahu," jawabku singkat. Aku mengangkat bahu, "Kau tahu alasannya?"

Raymond Shaw menatapku dengan mata hijaunya yang terasa sangat akrab bagiku. "Aku ayahmu," ucapnya tanpa berkedip.

Semua suara seperti disedot ke dalam lubang hitam. Dunia jadi sehening peti mati.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang