Aku merasa sakit di seluruh tubuhku saat tersentak bangun. Aku tidak bisa bergerak. Kepalaku seperti dibebani beban berat. Kupikir, saat membuka mata aku berada di tempat yang terang benderang karena di sekitarku ramai sekali. Ternyata, mataku gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa sama sekali.
Wajahku ditutup kain dengan rapat. Aroma apek keringat dan bir murahan tercium menyengat. Dulu, aku sering mencium aroma ini dari orang-orang yang lewat di depan rumah ibuku. Mereka melempar kaleng bir kosong sembarangan. Aku yang sering diminta membersihkan sampah itu. Ibuku berkata, "orang murhaan hanya akan minum bir murahan."
Kukerjapkan mata beberapa kali untuk merasakan sekelilingku. Ini bukan pertama kalinya aku berada di situasi begini. Aku jadi tidak terlalu panik. Ibuku sering menyekapku di dalam lemari. Aku hanya harus mwngatur napas agar bisa tetap bernapas dengan baik walau wajah tertutup kain. Aku juga harus membiasakan mataku pada kegelapan agar bisa melihat dengan lebih jelas. Kain memiliki pori-pori. Dari sini aku selalu berusaha melihat di mana aku berada. Jika beruntung mendapatkan kain penutup kepala dengan pori-pori yang cukup lebar dan jaraknya dengan wajah cukup untuk membuat fokus, aku bisa mengintip lingkungan sekitarku. Tapi, tanpa cahaya, semua hanya sia-sia belaka.
Aku bisa melihat lagi setelah menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang minim. Kadang, sinar menyinari tempatku berada. Aku jadi bisa melihat pori-pori kain yang cukup rapat. Kadang saja. Kami lebih banyak berada dalam kegelapan sepertinya. Kain yang menutupi wajahku berwarna hitam atau warna yang mendekati hitam. Sepertinya ada bagian pengikat di leher. Aku bisa merasakan ikatannya. Mereka mengikat terlalu kencang di bagian belakang leherku. Mulutku ditutup kain yang sepertinya diikat kuat di belakang kepalaku.
Ibuku sering mengikat mulutku dengan kain scarf lama atau selendang. Biasanya, aku diikat seperti ini kalau terlalu banyak bicara. Lambat laun saat aku sudah bosan dipukul dan ibuku juga sudah tidak bisa menahan tubuhku yang makin besar saat mengikatku, hukuman berupa ikatan sudah tidak pernah lagi diberikan padaku. Kami saling menghindar agar tidak pernah berkomunikasi lagi. Tanpa komunikasi, kami juga jadi lebih jarang bertengkar. Sebuah cara yang praktis sekali.
Aku berbaring miring di lantai. Sepertinya ini lantai mobil. Aku bisa merasakan deru mesin dan rasa tertarik atau terdorong saat mobil berganti gigi. Yang menyetir sepertinya bukan orang yang pandai mengemudi atau sudah mabuk berat.
Mereka mengikat kakiku dengan sesuatu karena aku tidak bisa bergerak sama sekali. Mungkin mereka mengikat tangan dan kakiku dengan besi. Aku bisa merasakan logam dingin di ujung jari tanganku.
Kuputuskan untuk tidak bergerak agar tidak menarik perhatian mereka. Aku tidak tahu dengan siapa aku sekarang. Mungkin saja aku sedang bersama orang-orang bersenjata yang mabuk. Mereka bisa menembakku kalau terlalu banyak membuat jengkel. Aku berkata seperti ini bukan karena pernah menghadapi penculik sebelumnya. Aku pernah menonton film penculikan seperti ini.
Ibuku seharusnya bangga. Walau tidak belajar di sekolah, aku belajar dari film san televisi yang dibencinya.
Kami terus bergerak di sepanjang jalan, tidak pernah berhenti untuk apa pun. Sepertinya jalan yang dilewati juga berbatu. Aku merasakan guncangan berkali-kali. Saat mereka melewati batu yang cukup besar, aku terguncang hebat sampai membentur lantai mobil berkali-kali. Kutahan mulutku agar tidak mengerang kesakitan. Lebih aman kalau mereka masih menganggapku pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...