Rise from The Death

10K 1.4K 46
                                    


Dear Readers,

Akhirnya saya update juga cerita ini. Enjoy the story, yah. Jangan lupa tinggalkan vote dan comment agar saya bisa update lagi ceritanya. Saya update kalau sudah 2K viewers yah.

Love,

Honey Dee

***

Seharusnya aku lebih banyak memerhatikan kamarku semalam.

Tempat ini luar biasa. Beberapa jendela besar bergaya kuno dihiasi gorden putih yang membuatku merasa seperti putri negeri dongeng. Salah satu jendela besar itu memiliki balkon yang sangat dekat sekali dengan pohon oak. Dahannya yang besar dan kokoh menjulur sampai ke balkon, meninggalkan daun rontoh di lantai. Aku menginjak beberapa daun basah dan rasanya sangat nyaman. Kupejamkan mata untuk merasakan aroma klorofil yang tajam. Angin bertiup pelan bersama dengan sinar hangat matahari pagi. Ah, mungkin ini kenapa aku tidak diizinkan mati semalam.

Semua ini tidak mungkin bisa kudapatkan pada pagi hari di jendela kamarku di New York.

"Kalau kau tidak suka dengan pohon itu, Paman Raymond bisa menyuruh orang memotongnya."

Aku berjingkat terkejut. Gadis ber-make up tebal itu tersenyum. Di belakangnya beberapa pekerja ikut masuk ke kamar, membersihkan seluruh kamar dengan cekatan. Gadis itu berjalan ke arahku, bukan berjalan biasa, dia hampir melonjak-lonjak seperti anak kecil yang melihat truk es krim.

"Pohon itu sudah berumur ratusan tahun. Tidak ada yang berani memotongnya. Kupikir karena ada kekuatan magis di pohon ini." Dia menatapku dengan mata hijau yang dihiasi eyeliner hijau cerah, seperti dress musim panasnya. Dia lebih mirip peri hutan daripada manusia. Kalau dia berdiri di dahan pohon ini, aku yakin dia benar-benar terlihat seperti Thinker Bell. 

"Tapi," lanjutnya dengan senyum lebar. "Paman Raymond pasti mau memotongnya kalau kau yang minta." Dia menatapku dengan mata yang dilebar-lebarkan, mungkin agar kelihatan lebih imut.

"Kau siapa?" tanyaku dengan nada datar. Kuakui, kemarin aku tidak terlalu mengingat orang-orang yang ada di rumah ini. Saat pertama kali datang, kepalaku masih dipenuhi bayangan wajah kejam Raymond Shaw. Semua orang yang kulihat berwajah sama dengannya, sama-sama menjengkelkan. Lagipula, aku belum pernah melihat gadis seceria dan sok kenal seperti ini. Apa dia pikir aku mau berteman dengannya?

"Beatrice Shaw. Panggil saja Bea. Aku sepupumu, ayahku Bernard Shaw adalah kakak Raymond Shaw yang meninggal karena kecelakaan saat bermain ski. Kita lahir di tahun yang sama. Makanya aku membelikanmu baju-baju seukuran denganku. Ternyata kau sedikit lebih tinggi dariku," jelasnya panjang hampir tanpa mengambil napas. Dia terlihat berpikir sebentar. "Sebenarnya Paman Raymond yang membelikan. Aku cuma memilih saja. Aku sangat suka belanja. Paman Raymond sangat suka membayar barang. Jadi, kami pasangan yang sangat pas kalau ke toko."

Aku menelan ludah. Gadis ini membelikanku baju? Gadis yang rambutnya ditata bergelombang sempurna dan bandana sialan itu memilihkanku baju?! Apa ada siksaan yang lebih berat dari ini? Tuhan, yang jadi pelacur dan penghancur keluarga orang itu Mom, kenapa aku yang harus dihukum begini?

Apa telanjang termasuk hal yang dilarang di kota ini? lebih baik aku keluyuran tanpa baju dan bergabung dengan klub nudis terdekat daripada memakai baju sewarna dengannya. Sialan!

"Sebaiknya kau keluar," ucapku pelan. 

Kuharap dia tersinggung dan mengerti kalau aku tidak ingin mencari teman di sini. Aku tidak ingin berteman dengan manusia biasa atau manusia yang menyerupai peri hutan seperti dia. Aku berencana membuat semua orang membenciku dan membiarkanku kembali ke New York. Di sana memang tidak ada pohon Oak berusia ratusan ratun yang indah. Tapi, di sana aku tidak perlu melihat gadis sok kenal yang warna bajunya membuatku sakit mata.

"Kenapa?" tanyanya dengan mata yang dibuka lebar-lebar. "Apa kau sakit? Apa kau masih merasa sedih dengan kematian ibumu?"

Aku sakit mata melihatmu dan aku sama sekali tidak bersedih atas kematian Mom. Tenang saja. Aku belum pernah setenang saat hari kematian Mom. Yah, kalau saja keparat yang mengaku ayahku itu tidak datang dan mengacak-acak hidupku.

"Aku tidak ... eh ... aku lebih suka sendirian." 

Ah, kenapa sih aku tidak bilang saja kalau aku ingin dia enyah dari hadapanku? Kenapa aku sebaik ini?

Kukira gadis itu akan menangis atau muram. Ternyata, dia tersenyum. "Baiklah. Aku akan menunggumu di meja makan. Semua orang juga menunggumu." Dia terlihat berpikir sebentar. "Kecuali Ed. Dia baru akan datang sore ini atau besok pagi. Dia masih ada urusan di New York."

Aku tidak mendengarkan. Aku tidak peduli. Mau Ed atau setan yang datang, persetanlah!

Bea menutup pintu ketika pekerja terakhir keluar dari kamar. Dia sempat melambaikan tangan dengan genit dan mengedipkan sebelah mata. Aku merinding juga melihat kelakuannya. Apa iya ada manusia yang begitu berlebihannya?

Aku menggosok dahi. Kepala dan perutku terasa tidak enak. Aku ingin muntah sebenarnya--kenapa tidak kumuntahkan di depan Bea tadi, ya? Mungkin karena semalam aku kebanyakan minum air kamar mandi bersabun. Apa ada orang mati karena minum air sabun?

Setelah dengan sangat terpaksa memakai salah satu baju penuh bunga dan warna yang ada di lemari--Bea itu belajar mode di mana, sih?--aku berusaha memikirkan soal makanan di tempat ini. Mungkin aku butuh makanan hangat yang agak asin untuk meredakan rasa tidak nyaman di perut ini. Biasanya aku tinggal memesan Caldo de Res ke Elma (sup daging yang dicampur sayuran dengan kuah kaldu yang agak pedas. Enak sekali dimakan saat asapnya masih tebal di atas mangkok.). Elma itu tukang masak Mom yang pintar sekali membuat masakan Meksiko yang pedas. Semua masakan yang dimasaknya punya rasa yang tidak bisa dilupakan. 

Apa di sini ada orang yang bisa membuatkan sup seperti itu? Apa di sini ada yang bisa masak masakan manusia?

Kuhela napas panjang. Bagaimana kabar Mom di kuburnya? Apakah tubuh indahnya yang kuminta untuk dipakaikan gaun baru Versace-nya itu benar-benar tidak membusuk?

Gaun baru itu terlalu indah untuk dipakai mayat. Tapi, hanya itu gaun yang belum pernah dipakainya. Mom benci harus memakai gaun yang sama ke pesta, apalagi ke alam baka.

Kenapa aku jadi memikirkan Mom?

Apa aku merindukannya?

Kurasa tidak. Memangnya, untuk apa?

*

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang