Lauren: Fire on My Road

3.7K 343 30
                                    

Aku terus menjerit. Kuharap Henry mendengarku dan memundurkan mobilnya. Aku tidak ingin Raymond menabraknya. Mata raymond lurus pada mobil Henry, yakin benar untuk menghancurkannya. Aku tidak memikirkan diriku. Tidak ada yang berguna dariku. Henry yang paling penting dari semua ini. Dia harus selamat.

Apa yang harus kulakukan?

Kutendang tangan Raymond. Setirnya oleng. Raymond bertahan, kembali ke jalan. Dia mengumpat keras dengan penuh kemarahan. Aku tidak peduli. Aku membuat ancang-ancang untuk menendangnya lagi.

Mobil Henry melewati kami. Aku menjerit lagi. Raymond berbalik, siap untuk menabrak Henry lagi. Aku menendangnya lagi. Dia membalas memukul wajahku. Sekejap aku merasa kehilangan segalanya. Kukira aku sudah mati saat itu. Tilda benar, tangan laki-laki memang sakit sekali kalau memukul. Hidungku seperti disengat besi tajam yang panas, menjalar langsung ke kepalaku.

Tidak. Aku tidak boleh pingsan. Aku tidak boleh jatuh. Aku tidak boleh kalah. Aku harus bisa bertahan dan menyelamatkan Henry. Cuma aku yang bisa menyelamatkan Henry saat ini.

"Hentikan, Raymond! Aku akan melakukan apa saja. Aku akan menurutimu. Tinggalkan dia! Biarkan dia pergi! Kumohon, Raymond! Kumohon!"

Dia tidak mendengarkanku. Dengan mengambil ancang-ancang, aku menendang kepalanya. Raymond terbentur jendela. Mobil kami oleng, kehilangan kendali ke kanan, teoat menabrak mobil Henry yang melaju di samping kami.

Benturan keras menghajar bagian samping tubuhku. Kepala, bahu, dan tubuhku seperti remuk, dihajar tabrakan itu. Kepalaku menunduk tepat saat kaca jendela pecah, berantakan di kepalaku. Mobil terpelanting ke kiri, membuat sisi Raymond terbentur pohon. Lalu, kejadian selanjutnya sangat cepat. Aku tidak bisa mengingat detailnya. Yang jelas kepalaku sangat sakit. Aku merasa ada luka perih di sisi kanan tubuhku, tapi tidak tahu di mana.

Mungkin, aku pingsan sebentar, mungkin juga ingatan itu hilang selamanya dari kepalaku. Hal pertama yang benar-benar kuingat adalah wajah Henry. Dia menarik tanganku yang terikat di pintu mobil.

"Lauren! Lauren! Kau mendengarku? Lauren?"

Dia memegang kepalaku dan menyentuh wajahku. Aku bisa merasakannya, tapi tidak bisa membuka mata. Begitu kucoba untuk membuka mata, rasanya perih sekali. Apa pecahan kaca itu melukai wajahku?

"Henry?" 

Aku merasa suaraku hilang. Kepalaku masih sakit bukan main saat kucoba untuk bersuara lebih keras atau menggerakkan kepala lebih banyak.

"Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kau akan baik-baik saja. Aku akan menolongmu sebentar lagi. Aku hanya ingin memastikan kau masih bersamaku," kata Henry yang masih berdiri di samping mobil. 

Kenapa dia tidak membuka pintu mobil? Kenapa dia tidak menarikku keluar dari sini?

Dalam pandangan yang suram, aku melihat Henry mundur. Dia melihat mobil itu dari depan sambil memegangi kepalanya. Dia memutar ke pintu Raymond. 

Lelaki itu tertunduk menabrak setir. Kukira dia sudah mati. Aku bahagia sekali kalau dia memang sudah mati. Ternyata tidak. Tiba-tiba dia bangun dan menendang pintu mobil sat Henry berdiri di sebelahnya. Henry terjepit pintu mobil dan pohon. Teriakannya membuatku berteriak juga, mengabaikan rasa sakit yang makin lama makin terasa menyiksa ini.

Raymond keluar dari mobil. Wajahnya berdarah. Dia menggeleng keras beberapa kali seperti orang yang pusing. Jalannya sudah gontai, tapi dia tidak peduli. Dia menghampiri Henry yang jatuh di samping pohon. Dengan keras, dia menendang perut Henry. Pada tendangan kedua, Henry menangkapnya, mengubah posisi kemenangan. Lalu, mereka berdua jatuh ke tanah. Aku tidak bisa melihat siapa yang dipukul dan siata yang memukul. Suara mereka berdua sama-sama keras. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Only Love We Have (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang