Aku sama sekali tidak berharap ada di sini. Veinmere adalah tempat terakhir yang ingin kukunjungi. Aku merasa ditipu mentah-mentah. Seharusnya aku ada di kota untuk bersekolah dan melakukan sesuatu yang hebat, bukan berada di desa kecil, menjadi pembantu rumah tangga perempuan kesepian. Astaga!
Seharusnya, sudah lama perbudakan ditiadakan. Amerika sudah menandatangani kesepakatan untuk membebaskan diri dari perbudakan. Seharusnya semua manusia di negeri ini punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Tapi, keluargaku malah menjual anaknya sendiri.
Dad bilang aku akan diantar bersekolah di Virginia. Aku akan meneruskan jenjang kuliah yang lebih bagus seperti gadis-gadis merdeka lain. Aku berbakat dan mendapat beasiswa penuh dari pemerintah. Tapi, Dad malah menendangku keluar kereta ke tempat sial seperti ini.
"Kuliah tidak akan menyelesaikan masalah keuangan kita, Nak. Kami membutuhkan uang untuk hidup adik-adikmu. Kami tidak butuh gelar sarjana atau kecerdasanmu," kata Dad saat membereskan barang-barangku di kereta. "Kami akan merindukanmu. Kamu tahu itu. Tapi, dengan berkurangnya satu mulut untuk diberi makan, bebanku akan jauh lebih mudah."
Sebelum aku bisa mencerna kalimatnya, Dad berkata lagi, "Kalau kau memang cerdas, kau pasti mengerti apa maksudku."
Aku tidak bicara lagi. Aku mengerti maksud Dad. Aku tahu dia telah bekerja sangat keras untuk keluarga kami. Inflasi menundukkan Amerika seperti saat menundukkan Hittler dulu. Wabah demam berdarah dan cacar di mana-mana. Orang-orang mati bergelimpangan di jalan. Uang juga sangat sulit didapatkan. Aku sering mendengar Dad berkata pada Mom bahwa menyingkirkanku ke tempat yang lebih baik adalah pilihan paling mulia. Tapi, aku juga tidak tuli saat mendengar fakta bahwa Dad berutang yang sangat banyak pada keluarga Shaw untuk memulai bisnis pembuatan jamnya uang berakhir bangkrut. Siapa yang mau membeli jam? Jika punya uang, orang akan membeli gandum atau kentang.
Faremouth yang awalnya kota besar di Mississipi jadi kota hantu. Siang malam terdengar suara orang menangisi yang sudah mati, bunuh diri, tembakan, jeritan karena dirampok atau diperkosa, hingga suara kemarahan yang entah marah pada siapa.
Lonceng gereja makin jarang dibunyikan. Orang-orang mengumpat Tuhan yang memalingkan wajah dari bencana ini. Jagung tidak lagi tumbuh dan tikus semakin banyak. Orang-orang yang kelaparan memakan daging tikus besar atau babi hutan yang agak sulit didapat.
Kata Mom, hanya tinggal menunggu waktu sampai keluarga kami juga merasakan penderitaan itu. Keluargaku tinggal agak jauh dari kota. Rumah peninggalan keluarga Miller yang awalnya dibenci Mom menjadi benteng pertahanan kami. Rumah batu ini terlindung di antara ladang jagung dan hutan lebat. Wabah di kota tidak menyentuh rumah ini. Namun, ini hanya sementara. Suatu hari kami kekurangan bahan makanan dan terpaksa memakan tikus besar yang berhasil ditangkap Dad. Tidak ada yang mengatakan apa-apa. Daging tijus itu terasa enak setelah berminggu-minggu kami hanya makan jagung asin yang direbus terlalu sebentar--kami juga harus menghemat kayu bakar agar tidak perlu sering keluar mencari kayu di hutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...