Aku sangat ingin cepat-cepat membaca buku yang penuh tulisan Mom itu. Aku ingin menyuruh Tilda berhenti mengoceh tentang musim panas dan anak-anak Cole yang brutal. Aku sama sekali tidak peduli. Aku tidak punya urusan dengan mereka. Aku sangat ingin sendirian dan membaca buku itu. Tapi, menyuruhnya berhenti sama dengan berbuat jahat padanya. Bisa saja dia sudah lama sekali sendirian dan sekarang akhirnua bisa menemukan seseorang yang bisa diajak berbicara. Dia sudah begitu baik padaku. Kenapa aku tidak bisa berusaha sedikit baik padanya?
Bersabar sebentar tidak akan membunuhmu, Hellene.
Raymond menjemputku dua puluh lima menit kemudian. Dia mengebut dengan mobil sampai hampir menabrak pilar batu rumah Tilda. Aku terharu saat dia memelukku. Dia mengatakan betapa takutnya dia kehilangan aku. Tapi, aku tidak berbicara banyak. Pikiranku, seluruhnya, ada pada buku itu. Benar-benar seluruhnya. Aku sampai lupa mengucapkan terima kasih atau selamat malam pada Tilda.
Begitu sampai rumah, aku belum bisa masuk ke kamar. Seisi West Side menyambutku. Mereka menciumi dan memelukku seolah aku baru pulang dari bulan. Satu jam aku merasa seperti bola yang dilempar ke sana-ke mari untuk dilihat apa ada bagian tubuhku yang lecet. Rambutku memang agak berantakan karena ranting pohon kecil, sama dengan wajahku yang tergores di beberapa sisi. Selebihnya, tidak ada masalah. Aku sehat.
Sudah sangat larut saat aku akhirnya bisa masuk kamar. Itu juga sebenarnya aku masih harus mendorong Bea agar tidak ikut masuk ke kamarku. Anak itu menangis saat menungguku pulang. Kini, dia sangat ingin tidur denganku.
"Ini bukan pesta piyama dan aku sama sekali bukan temanmu, Bea," ketusku sambil menutup pintu kamar dengan keras di depan wajahnya.
Memang ini kasar, tapi aku sedang tidak ingin basa-basi.kalau dia di sini, aku yakin sampai pagi aku hanya akan mendengar celotehannya.
Aku melompat ke tempat tidur. Dengan cepat kukeluarkan buku agenda Mom dari tas rajut yang diberikan Tilda.
Aku belum pernah begitu bersemangat melihat buku. Jariku sampai gemetar. Aku harus mengibaskan beberapa kali agar kuat membuka pengunci pada sampulnya.
Sampul kulit itu berbunyi seperti tulang nenek-nenek yang sudah rapuh. Kelihatannya buku itu belum pernah dibuka dalam waktu lama.
Bagian depan buku itu penuh gambar bunga yang sepertinya dibuat dengan cat air. Tulisan Mom indah, bersambung dan dihiasi lengkungan, berbeda dengan tulisanku yang putus-putus dan tegas. Mata pena uang digunakannya membentuk garis tebal-tipis yang manis. Tulusan Mom seolah dituliskan oleh elf di balairung kerajaan mereka.
Pada halaman berikutnya ada foto hitam putih gadis yang tertawa lebar. Gadis itu mungkin berusia belasan atau awal dua puluhan. Rambutnya mengembang seperti rambut gadis zaman dulu. Senyumnya seolah gadis itu melihat sesuatu yang ia sukai di depan. Mungkin foto ini diambil oleh orang yang disayangi Mom.
Seumur hidup, aku tidak pernah melihat Mom tertawa seceria itu. Tawa Mom yang kutahu selalu dibuat- buat, kebanyakan karena menertawakan orang lain yang berbuat konyol. Alasan lain Mom tertawa adalah untuj membuat pasangannya senang. Mom berpura-pura tertawa untuk semua ucapan tidak lucu yang di lontarkan di depannya. Mom tidak pernah tertawa untuk kebahagiaannya sendiri seperti di dalam foto ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Love We Have (On Going)
RomanceAku sudah terbiasa sendirian, bahkan sebelum kematian Mom. Tapi, laki-laki dari Veinmere berkata kalau dia ayah biologisku. Parahnya, dia melakukan apa saja untuk membuatku tinggal dengannya, bahkan dengan membakar rumahku dan membuatku hampir mati...