1| First sight

1.4K 56 3
                                    

Dewandaru Arasatya—lelaki dengan seragam hitam putih rapih berdasi terlihat berjalan penuh percaya diri menuju stage panitia OSPEK atau orientasi perkenalan kampus yang diberlakukan di kampus barunya. Dirinya adalah satu dari tujuh ribu calon mahasiswa baru di salah satu universitas ternama di Jakarta.

OSPEK dibagi dalam dua acara besar yang dipisahkan menjadi Orientasi universitas dan Orientasi fakultas. Hari ini adalah penutupan sekaligus puncak acara dimana Ospek universitas diselenggarakan.

Beberapa perempuan yang duduk melingkari tribun, diam-diam melempar senyum dan Dewa yang tanpa merasa canggung membalasnya. Lelaki tersebut memang terlalu ramah, dan seandainya saja Panitia Pusat atau PANPUS yang bertanggung jawab terhadap jalannya acara tidak kembali memanggil urutan nomor kontingennya, mungkin Dewa tidak merasa keberatan melayani sapaan yang ditujukan kepadanya.

Kontingen adalah sebutan untuk setiap fakultas yang ada di kampus Indonesia Biru. Sebuah kampus dengan jajaran elit yang terkenal selalu meluluskan generasi-generasi hebat dalam setiap angkatannya. Dirinya sendiri ditunjuk oleh panitia fakultas sebagai katua dari kontingen fakultas Hukum. Dan disinilah Dewa berada, berdiri di stage bersama perwakilan kontingen lain untuk mengumpulkan Love latter kepada panitia.

"Kontingen Teknik," seorang perempuan dengan almamater dan slayer merah dilengan kanan memanggil. Menatapi satu persatu barisan dari perwakilan kontingen.

Lelaki yang berdiri tepat disamping Dewa maju untuk kemudian menyerahkan amplop berwarna merah muda dan memasukannya kedalam kotak kaca. Tempat para surat-surat dengan warna dominan serupa saling berkumpul.

"Kontingen Ekonomi dan Bisnis."

Kali ini lelaki yang berdiri di barisan paling ujung yang berjalan mendekat. Kedua mata mereka sempat saling bertemu dan ketika Dewa menyunggingkan senyum ramah, justru dengusan dingin yang di dapatkannya. Hal yang langsung membuat Dewa mengernyit.

Padahal Dewa hanya mencoba bersikap ramah saja.

"Kontingen Hukum,"

Dewa segera melupakan kekesalannya ketika nama kontingennya disebutkan. Langkahnya tegap saat berjalan kedepan dan menyerahkan kertas putih miliknya kepada panitia.

"Nggak ada amplopnya?" Kening panitia tersebut berkerut dan ketika menatap Dewa yang tersenyum langsung saja kerutan tersebut berubah menjadi rona merah di pipi.

"Sorry, gue lupa beli amplopnya. Nggak apa-apa kan? Udah gue lipat juga itu suratnya, jadi nggak kelihatan lah isinya juga."

Panitia tersebut mengangguk dengan mudah dan segera memasukan surat Dewa kedalam kotak kaca bergabung dengan surat-surat yang lain.

"Baik semuanya, Love latter dari masing-masing perwakilan kontingen sudah dimasukan kedalam kotak kaca ini. Selanjutnya kita akan meminta para ketua kontingen ini untuk membacakannya secara acak. Bagaimana? Sudah siap semuanya?" Seruan pemandu acara segera disambut riuh dari para mahasiswa yang duduk dalam barisan masing-masing perwakilan kontingennya.

"Baik, kita mulai dari kontingen Kedokteran!" Pemandu acara berteriak dengan semangat, "mana suaranya untuk kontingen Kedokteran?" Dan dengan cepat teriakan heboh si pemandu acara disambut sorakan yang tak kalah kencang dari para mahasiswa yang mengenakan ikat kepala berwarna putih.

Seorang perempuan berbandana dengan pembawaan kalem yang mengingatkan Dewa pada sosok seorang Dokter melangkah maju. Dewa menjadi bertanya-tanya, apa memang semua Dokter bahkan memiliki aura seperti ini sebelum benar-benar menjadi Dokter?

Perempuan tersebut mengambil salah satu surat dan langsung membacakannya. Ekspresinya begitu tenang dan teratur.
"Semangat para kakak panitia." ucapnya dengan nada tenang cenderung datar. Benar-benar kontras dengan kalimat penyemangat yang disampaikannya.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang