Naikan tekanan kejut jantungnya!
Ngiiiiingg---tiit... tiit...
Respon otak menurun. Siapkan impuls listrik!
"—wa..."
Lalu sentuhan dilengannya membuat Dewa terkesiap. "Hng?"
"Kamu nggak dengar aku?" Luna bertanya hati-hati. "Ada yang sakit? Atau dadanya sesak lagi?"
Sesaat Dewa terlihat kebingungan. Lalu selang lima detik setelahnya mengulas senyum kecil. Bibirnya yang pucat terliht tertarik perlahan. "Aku... nggak tahu..."
Mendengar nada suara lemah tersebut akhirnya membuat Lun menurunkan mangkuk bubur cairnya. Setelah lepas dari selang ventilatornya pagi tadi, Dokter Farhan memang menyarankan agar Dewa mulai berlatih dengan makanan cair sebelum lambungnya mulai terbiasa.
"Pusing lagi kepalanya?" Luna bergerak mendekat dan mengelus sisi kepala Dewa lembut. "Kamu jadi sering kebingungan akhir-akhir ini. Nanti aku minta Padre buat periksa kalau sudah pulang ya? Sudah lama juga kamu nggak terapi akupuntur."
Sekenanya Dewa mengangguk. Sejujurnya Dewa juga bingung dan tidak tahu apa yang dialaminya ini adalah nyata atau hanya sekedar halusinasi. Setelah sering mendapatkan mimpi buruk, belakangan ini juga sering sekali mendengar suara-suara aneh. Terkadang bentuk visual memburam juga menghentui kepalanya.
Dewa tidak tahu dan juga tidak ingat sempat mengalami semua itu. Terlebih lagi, ingatannya yang buruk akan dengan cepat memudar setiap kali serangan sakit kepalanya datang. Seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam kepalanya dan Dewa sendiri tidak mampu mengendalikannya.
"Kan, melamun lagi." Decak Luna meski halus. "Kamu kenapa? Kalau ada yang nggak nyaman bilang, oke? Aku khawatir kalau kamu begini..."
Kalau saja Dewa tahu apa yang membuatnya seperti ini juga pasti dirinya akan mengatakannya. Sayangnya dirinya juga tidak tahu apa yang terjadi. "Lunnn.... hh.... siihni..."
"Apa?"
Perlahan dan dengan gerakan yang begitu lemag, dua tangan Dewa terentang. "P-pehhluk..."
"Dasar manja," tapi Luna tetap mendekat dan memeluk tubuh Dewa. "Senang karena selangnya sudah dilepas?"
"Em... sehhnang..."
"Masih sering mimpi buruk?" Itu karena Luna ingat Dewa terus saja seperti orang linglung teruama saat mimpi buruknya datang.
Dewa mengabaikan pertanyaan itu dan justru mengeratkan pelukan. Padahal Luna sudah melarangnya untuk banyak bergerak. Luka dan jahitan bekas operasi sudah mengering sehingga Dokter sudah memperbolehkan Dewa mengubah posisi berbaring atau sekedar menaikan bed, menjadi setengah duduk. Tapi bukan berarti Luna mengendurkan pengawasan.
"Coba buat makan lagi, ya?"
Dewa menggeleng. "Sudah..."
"Minum dulu kalau begitu." Luna mendekatkan straw dan membiarkan Dewa minum beberapa teguk.
"Ma-ahuu baring lagi. Pusing..." Dewa kembali mengulurkan tangan. Dalam posisi setengan duduk seperti ini memang Dewa masih sering merasa sedikit sesak. Tidak sakit hanya kurang nyaman saja.
"Dokter Farhan bilang harus belajar bergerak sedikit-sedikit biar lengan sama bahunya nggak gampang keram lagi. Jangan malas." Luna beranjak berdiri dan membiarkan Dewa merangkul bahunya untuk dibantu berbaring. Pelan sekali dan terlihat berhati-hati memperbaiki posisi berbaring Dewa agar senyaman mungkin.
"Hmm..."
"Dasar manja," geruru Luna meski tidak serius mengatakannya. Luna sangat yakin Dewa tidak menganggap kata-katanya tadi. Dewa memang paling bandel setiap diminta untuk melakukan peregangan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...