Luna memarkirkan mobilnya dihalaman asri sebuah bangunan luas dengan balai-balai khas Belanda. Gedung dengan jendela petak berderet dan lengkungan pintu ganda tinggi tersebut tampak begitu hangat juga ramah.
Ketika melangkah turun, pemandangan pertama yang menyambutnya langsung saja membuat perasaannya menghangat. Damai. "Pak, benar panti asuhan Kasih Bunda?"
"Oh, leres Neng. Silahkan masuk saja."
Setelah memberi anggukan pelan kepada lelaki paruh baya yang ditemuinya dilahaman depan, Luna melanjutkan langkah untuk masuk. Sebuah balai-balai besar menyambutnya dengan gelak dan samar beberapa anak yang terdengar sedang melafalkan sebuah ejaan kalimat pendek.
Rasanya nyaman sekali dengan lingkungan semacam ini. Sudah lama Luna tidak berinteraksi seperti ini.
Sumber suasana hangat tersebut tidak lain adalah karena adanya kegiatan belajar yang dilakukan dibagian samping teras. Ada sebuah gazebo dengan bahan kayu yang ditempatkan di ujung balai-balai. Luna tidak bisa tidak tersenyum melihat antusias anak-anak yang sepertinya sedang berkegiatan belajar membaca tersebut.
Kalau saja tidak mengingat dirinya yang tidak bisa meninggalkan Dewa berlama-lama sendirian, pasti Luna akan senang mengamayi beberapa saat. Sayangnya Luna harus menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat sebelum jam makan siang Dewa. Karena itu, Luna memilih bergegas memutari mobil dan membuka bagasi belakang.
Meski sudah ada Ranti yang membantunya menjaga Dewa, tetapi Luna tetap harus mengawsinya. Tidak lain adalah karena Dewa yang terlalu pintar untuk mengakali Ranti sementara pengurus rumahnya itu seringnya hanya menurut saja dengan alasan tidak tega.
Tas berukuran sedang berisi alat check up sederhana dikeluarkannya untuk dibawa masuk. Dirinya sudah menghubungi pemilik panti sekaligus membuat janji untuk datang hari ini menggantikan salah satu seniornya yang kebetulan sedang memiliki jadwal dinas lain.
Lagipula sebagai anak Ko-as baru, dirinya tidak bisa banyak mengeluh. Meski harus bekerja dihari libur seperti yang sekarang sedang dilakuknnya ini.
"Selamat siang. Saya Luna dari Central Hospital. Bisa bertemu dengan Ibu Kasih? Saya sudah membuat janji untuk check up sebelumnya."
Seorang gadis kecil yang sepertinya baru berada diusia belasan tahun tersebut tampak berkedip-kedip bingung menatap Luna. Seulas senyum Luna ulas sebelum mengulangi dengan intonasi kalimat yang lebih pelan.
"Halo..." Luna kikuk sendiri dengan nada bicaanya, "saya Dokter Luna, boleh bertemu dengan Ibu Kasihnya?"
"Ahh..." wajah gadis tersebut langsung sumringah dan menarik-narik Luna masuk.
Luna pikir anak dihadapannya ini belum mengerti dan sedikit terkejut ketik tangannya ditarik begitu saja. Karena tidak ada orang lain yang bisa dutanyinya akhirnya Luna memutuskan untuk mengikuti. Kini gantian Luna yang kebingungan karena langsung dibawa masuk dan baru berhenti di depan pintu kayu cokelat. Ketika hendak menegur anak tersebut, ternyata geraknnya terlambat dan anak tersebut lebih dulu mengetuk hingga begitu saja membukanya.
"Maria..." seorang wanita baya yang dikenali Luna sebagai Ibu Kasih—pengelola panti asuhan ini terlihat sedikit bingung. Lalu, menatap lekat dirinya dan baru tersenyum meminta maaf. "Kakak dokternya nya jangan ditarik-tarik seperti itu, sayang."
Gadis bernama Maria tersebut menarik Luna mendekati Ibu Kasih dan bukannya segera melepas gandengannya. Bibirnya bergerak-gerak meski ocehan yang keluar dari bibirnya tidak mampu Luna pahami.
"Ahh..!!" Maria menunjuk-nunjuk Luna dengan seruan antusias.
"Iya tapi itu Kakaknya jadi bingung sekarang." Ibu Kasih mendekat dan meraih Maria untuk dirangkul lembut. "biar Bunda ngobrol sebentar sama Kakaknya ya? Maria boleh panggil adik-adik dan Ibu Guru diluar."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...