Luna berbaring diatas ranjangnya dalam keadaan kesadaran penuh sementara kedua matanya tertutup rapat.
"Luna dengar Padre, keadaan Dewa semakin memburuk. Kita harus segera membawanya pergi kalau mau menyelamatkan dia. Dewa sekarat..."
Kening Luna berkerut-kerut dalam kesadarannya. Menggeleng kuat saat bayangan Dewa mengalami kejang berputar di kepala.
Dewa kesakitan.
"Arjuna hanya menghalangi langkah kita untuk menyelamatkan Dewa... dia berniat buruk. Dia sengaja mau mencelakai Dewa."
Luna berkeringat dingin diatas pembaringannya. Kedua tangannya mulai mengepal disisi tubuh.
"Lima tahun lalu dia meninggalkan kamu, dia mencampakan kamu, ingat? Sekarang dia kembali hanya untuk menyingkirkan Dewa. Arjuna adalah orang jahatnya disini."
"A-rjuna penjahatnya..." igau Luna dengan kepala bergerak-gerak gelisah. Peluh semakin membanjiri pelipisnya.
"Iya, dia berniat jahat. Dewa hampir mati karena Arjuna. Kamu sangat membenci Arjuna karena hampir membunuh Dewa."
"Aku... membenci Arjuna..."
"Benar begitu. Arjuna jahat dan kamu harus melindungi Dewa. Kita bawa Dewa pergi."
Luna mengikutinya dengan patuh. "Bawa Dewa... pergi. Harus... pergi..."
"Kita harus menyelamatkan Dewa."
"Se... selamatkan Dewa."
Irawan tersenyum menyeka titik keringat di kening Luna, "kamu hanya harus mempercayai Padre. Satu-satunya orang yang kamu cintai di dunia ini adalah Dewa. Kalian akan bertunangan dan segera menikah. Lupakan Arjuna."
"Lupakan... Arjuna..." Luna bergerak-gerak gelisah. "Arjuna jahat... selamatkan Dewa..."
Usapan di kening Luna terus Irawan lakukan. Sugesti-sugesti yang jelas sengaja ditanamkan oleh Irawan kedalam pikiran Luna membuat senyum tipisnya terulas. Butuh beberapa waktu sampai pengaruhnya bekerja.
Lagipula ini juga bukan pertama kalinya dan Irawan yakin Luna akan segera melupakan pemuda bermarga Wissesa itu. "Pelan-pelan... buka matanya. Kita harus segera pergi."
"Engh..." Luna mengerang. Geliat pelannya menunjukkan bahwa tanda-tanda kesadarannya mulai dikembalikan ke permukaan.
Gerakan ditubuh Luna perlahan memelan hingga terhenti sepenuhnya. Titik-titik keringat masih terus bermunculan hingga perlahan kelopak yang tertutup tersebut terbuka. Pandangan Luna terasa kosong sekaligus bingung. Matanya mengerjap dan bibirnya bergerak-gerak menggumamkan nama Dewa.
"Dewa..."
"Dewa..."
Irawan mengelus puncak kepala Luna. Menenangkannya yang masih separuh sadar. Selanjutnya bergerak menyusupkan lengn pada lekuk lutut dan punggung sang putri. Tidak ada gerakan atau protes berarti sampai akhirnya tubuh Luna kembali diangkat dalam gendongan.
"Dewa..." lirih Luna dengan kepala terkulai dibahu Irawan.
"Padre akan segera membawa kamu pada Dewa."
Langkah Irawan melebar dengan Luna yang berada dalam gendongannya. Saat melewati pintu utama, Ranti mensejajari langkahnya dengan beberapa kotak berkas penting juga cap obat khusus milik Dewa.
"Saya sudah menginjeksikan dopping yang cukup untuk tubuh Dewa bertahan. Apakah harus membiusnya lagi?"
"Berapa dosis yang diberikan terakhir kali?"
Ranti terdiam beberapa saat sebelum menjawab. "Tiga."
"Itu akan terlalu beresiko untuk menmbahkan dosis biusnya. Kadar dalam pembuluh darahnya bisa membuat otaknya collapse. Biarkan saja dan pindahkan dalam kondisi apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...