Arjuna memang menawarkan diri sebelumnya untuk memeriksa kondisi Dewa. Tidak lain adalah karena kasihan melihat Luna yang kelelahan. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga pikirannya. Dirinya sendiri juga menanggung beban yang sama.
"Iya Bundaku sayang... ini sudah di Apartemen. Ngantuk banget, hoam... besok aja pulangnya. Janji sarapan di rumah.".
Melalui sambungan telepon, bundanya memang menanyakan dirinya yang hilang-hilangan sejak beberapa hari terakhir. Segalanya hanya akan menjadi semakin rumit seandainya saja ayahnya turut campur dengan masalah ini. Bima Wissesa jelas tidak akan senang kalau tahu istri kesayangannya dibuat khawatir olehnya.
"Iya, bilang Seruni juga. Aku nggak pulang." Sejujurnya Arjuna sudah menunjukkan sikap tegasnya, tetapi mengingat kedekatan keluarga mereka dan juga kedua orangtuanya yang sangat menyayangi Seruni, dirinya menjadi lebih bersabar.
Padahal sabar tidak pernah ada dalam kamusnya.
Telepon baru saja ditutup ketika Arjuna menyadari hendel pintu yang ditekannya tidak juga mau membuka. Keningnya mengernyit dan begitu saja berseru. "Kok dikunci?"
"Kenapa belum masuk juga?" Luna yang menyusul dengan wajah mengantuk menatap brgantian. "Atau aku yang periksa sementara kamu telepon dulu?"
Arjuna menggeleng. "Pintunya dikunci, Lun."
"Dikunci?" Akhirnya Luna yang bergerak mendekat untuk menekan hendel pintu. "Tadi bukannya Mbak Ranti yang bawakan obat?"
"Iya," Arjuna ikut beraut serius. "Ini juga dikuncinya dari dalam. Nggak mungkin Dewa bangun terus kunci pintunya kan?"
Luna melirik sebal pada selorohan Arjuna tersebut. Akhirnya bergerak mengetuk, "Mbak? Kenapa dikunci pintunya? Mbak Ranti?"
Hampir saja Luna berpikir ada yang salah dengan pintunya sampai beberapa saat kemudian suara pengurus rumahnya tersebut menyahut. Tidak lama Ranti keluar dan seperti biasa langsung bersikap ketus kepada Arjuna.
Masih sempatnya keduanya beradu mulut dan kalau saja Ranti tidak mengejutkannya dengan mengatakan kalau Dewa baru saja menunjukkan tanda-tanda kesadaran maka Luna akan benar-benar menegur keduanya agar bisa sedikit lebih akur.
Mereka semua bergegas masuk dan segalanya terjadi begitu cepat. Tubuh Dewa mengalami kejang hebat dan membuat semua orang menjadi panik. Luna sampai terduduk lemas dilantai dan Ranti yang berdiri kaku disisi ranjang benar-benar tidak bisa diharapkan.
Hanya Arjuna yang masih bisa berpikir rasional dengan terua menekan tubuh Dewa agar tidak sampai melukai dirinya sendiri. Hasilnya dirinya sendiri yang beberapa kali mendapatkan pukulan acak.
"Telepon Ambulance!"
Seruan paniknya tidak didengarkan. Bahkan dua orang yang kini shock menatap Dewa tidak juga bergeming. Kalau saja tidak sedang menahan tubuh Dewa maka bisa saja Arjuna melakukannya sendiri. Itu tentu lebih efektif dilakukan.
"Luna, sadar!" Seru Arjuna yang mulai terengah. "Telepon Ambulance sekarang atau Dewa bisa mati disini!"
Baru setelahnya Luna mengerjap dan mulai menggeragap. Wajahnya pucat dan linglung sementara gerakannya terbata. "A-aku..."
"Tidak perlu menelepon siapapun."
Sebuah seruan bernada tenang menyahut diiringi oleh kemunculan sosok lelaki yang tidak laina dalah Irawan. Sosok padre dari Luna tersebut yang masih terlihat muda menatap sekeliling dengan menilai.
"Padre!" Luna langsung menyeru dan tergugu. "Dewa kejang! Tolong... selamatkan Dewa Padre!"
Lalu tatapannya berlih pada Arjuna yang masih menahan tubuh Dewa diatas ranjangnya. Entakannya tidak memelan dan Dewa mulai mengalami gejala kesulitan bernapas. "Pertama-tama, segera singkirkan tangan kamu dari tubuh Dewa. Apa yang kamu lakukan sekarang hanya akan semakin memperburuk kondisi Dewa."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...