28|Jangan Pergi

502 28 4
                                    

Halo...
Akhirnya up hhe.

Ada yang nungguin?

.
.
.

T

iit—beep... beep...

Beep... beep... beep...

"Mas Dewa," Ranti yang mendekat untuk menaikan selimut terlihat memeriksa kelopak mata Dewa. Memastikan responny cukup baik sebelum beralih untuk membisiki telinganya. "Jangan sampai Non Luna pergi."

Kelopak mata Dewa yang membuka separuh mengejang lalu bola mata dibaliknya berusaha fokus meski masih terlihat kesulitan. Bayangkan saja berapa tinggi dosis obat penenang yang sebelumnya diinjeksikan oleh Doktee Farhan.

"Hnghhh..."

Ranti menarik sudut bibirnya tipis, "kalau sampai Non Luna pergi nanti Arjuna bisa merebutnya loh."

Dewa mengedip cepat. Jemari tangannya yang membuka disisi tubuh bergerak-gerak gelisah. Tidak lama pintu kamar mandi terbuka dan Luna yang hanya beralih untuk mencuci wajah segera mendekat. Ranti juga seluwesnya bergerak menjauh.

"Kenapa?" Luna memeriksa Dewa yang terbangun setelah hampir enam jam lamanya kehilangan kesadaran akibat pengaruh obat. "Sudah bangun?"

Jemari Dewa masih terus bergerak-gerak hingga Luna berinisiatif untuk menautkan tangannya disana. "Mimpi buruk lagi?"

Masih dibawah rungkupan masker oksigennya, Dewa menggeleng. "Lun—aaah... hangaaan... hep—ergih..."

"Aku disini, nggak kemana-mana." Desah Luna. Sejujurnya tubuhnya agak pegal karena terjaga hampir semalaman. Apalagi karena kondisi Dewa yang tiba-tiba saja menurun dirinya juga harus tetap tinggal dan berada disisi Dewa.

"Jangan.... teh—akhh... tehmuhi... Aaarjunaa—aah..."

Dan Luna tersenyum lirih, "iya, aku disini aja sama kamu."

"Non Luna, mau saya pesankan makanan? Dari semalam Non Luna belum makan apa-apa."

Memang sejak mendapati Dewa anfal semalam, Luna kehilangan napsu makannya. Pikirannya terus bergemuruh dan tidak tenang. Bagaimanapun, saat ini pasti Arjuna sedang menunggunya. Mereka memang memiliki janji untuk makan siang bersama.

Ini akhir pekan dan itu artinya lebih banyak waktu untuk Arjuna menunggunya. Ponselnya yang sejak semalam dilemparkannya begitu saja juga sudah tidak lagi bergetar apalagi mengedip menunjukkan notifikasi masuk. Mungkin saja sudah kehabisan daya dan Luna tidak bisa sekedar memeriksa.

"Aku makan sebentar ya?" Tangan Dewa yang menggenggam tangannya dielus pelan.

Lalu erangan protes kembali terdengar. Wajah Dewa mengerut dan terlihat sekali tidak akan membiarkan Luna beranjak meski hanya sesenti saja. Akhrnya Ranti yang begitu pengertian mendekatkan ransum makan untuk Luna.

"Rotinya saja, Mbak. Saya sarapan nanti kalau Dokter Farhan sudah visit pagi dan Dewa sudah lebih tenang."

Ranti yang mengerti maksud dari perkataan Luna sengaja menyeletuk. "Oh... sekalian tunggu Mas Dewa tidur ya? Memang lagi manja Mas Dewa ini ya Non..."

"Engh... engh...." dada Dewa bergerak lebih cepat. "Jangan... pergihh..."

Kini Luna dipegangi oleh dua tangan Dewa. Meski terlihat masih begitu lemas tapi Luna yakin kalau Dewa benar-benar mengerahkan tenaganya untuk menahannya tetap tinggal. Padahal Luna belum beranjak sama sekali.

"Aku nggak pergi..." lalu Luna menangkup wajah kuyu Dewa dengan kedua telapak tangannya. "Tenang, oke? Pelan-pelan bernapas..."

Diam-diam Ranti tersenyum puas. Bagaimanapun dirinya ditugaskan untuk mengamankan sekaligus menjauhkan Luna dari apapun yang mungkin bisa mempengaruhi recana besar mereka.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang