12|Ciuman Rasa Lemon

682 60 5
                                    

"Silahkan tanda tangannya Mbak."

Kurir yang mengantarkan paketan gitar milik Luna menyerahkan kertas berisi tanda terima. Luna menandatanganinya dengan cepat dan kemudian menyerahkannya kembali. Menunggu sampai kurir tersebut pergi baru begerak menutup gerbang depan.

Kompleks perumahan yang ditempatinya ini memang menjunjung sikap individualis yang tinggi. Tidak hanya itu, semua orang yang tinggal juga begitu menghargai privasi sehingga tidak perlu repot ataupun muncul perasaan ingin tahu meski pintu pagar rumahnya tidak penah terbuka sekalipun. Tetangganya tidak saling mengunjungi dan memang lingkungan seperti ini yang cocok mereka tinggali.

Luna tidak pernah suka berinteraksi apalagi dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Dirinya juga memberikan pengertian yang sama kepada Ranti terkait sikap yang harus diambil. Terutama demi keamanan dan kenyamanan dari Dewa.

Lagipula, mereka jarang menetap di suatu kota lebih dari enam bulan sehingga tidak merasa perlu beramah tamah dengan para tetangga. Luna tidak pernah suka berbaur dan Dewa yang sekarang juga sepertinya lebih nyaman menghabiskan waktunya di dalam rumah.

Luna membawa gitar miliknya tersebut setelah membuka penutup. Padrenya baru saja mengirimkan pesan untuk mengabari kaau tidak bisa kembali sesuai rencana awal karena ada pasien yang harus ditangani secara mendesak. Karena itu gitar tersebut dikirimkan melalui kurir jasa pengiriman. Ini pasti dari jasa pengiriman terbaik mengingat gitarnya dibungkus dengan begitu rapih agar tetap aman selama dalam perjalanan pengiriman.

Memasuki ruang tengah yang sepi, Luna menduga Dewa berada di kamarnya. Awas saja kalau sampai anak itu melewatkan makan siangnya lagi. Luna akan benar-benar menegur Ranti nanti.

Baru akan beranjak menuju kamar utama, suara televisi dari ruang menonton membuat Luna mengganti arah tujuan. Berbeda dengan ruang menonton yang biasa dilengkapi karpet tebal atau sofa set seperti kebanyakan rumah lainnya. Ruang menonton miliknya ini dibuat seramah mungkin dengan pengguna kursi roda. Letak televisi turut disesuaikan begitupun sofa dan meja yang sengaja direnggangkan.

Layar televisi menyala menampilkan acara talk show dengan volume rendah. Perhatian Luna terarah pada juntaian selimut yang merosot sampai ke kaki sofa panjang. Dewa tampak terlelap disana dengan nyaman. Sofa yang dimaksud memang dipesan khusus untuk Dewa. Ukurannya lebih luas dan busanya dibuat khusus agar punggung Dewa tidak sakit meskipun berbaring selama berjam-jam disana.

Luna meletakan gitarnya lalu meraih remote AC dan menaikkan suhunya. Kekhawatirannya terbukti begitu mengusap punggung tangan Dewa yang terasa dingin. Dasar memang bandel Dewa ini. Tubuhnya yang sekarang mana tahan berhadapan dengan suhu ruangan yang dingin?

Luna mengusapi kening Dewa. Dalam hari berdo'a agar tidak sampai membuat demam. Sudah tahu tidak bisa memakai AC masih saja bandel tidur di luar kamar dengan suhu AC yang rendah.

Mungkin karena gerakan mengelus yang Luna lakukan, kening Dewa berkerut dengan kedua alis yang saling melengkung. Terusik dengan gerakan tangan Luna yang membangunkannya. Pelan sekali bibirnya mulai menggumamkan protes.

"Nggh... lima menit lagi Bu," gumam Dewa dengan wajah merengut tidak nyaman.

Luna geleng kepala. Sedikit lucu dan gemas tetapi tidak menghentikan niatnya untuk membangunkan. Entah sedang mimpi apa anak ini sampai mengigau memanggil ibu padanya.

"Nggak ada lima menit lima menitan. Bangun sekarang karena ini sudah jamnya makan siang. Dasar tukang tidur..." Luna menjawabnya ketus meski belaian tangannya tetap berusaha selembut mungkin.

Tidak melihat tanda-tanda Dewa mau membuka mata, jadi Luna melarikan jarinya untuk menjepit pelan hidung Dewa. Hanya beberapa detik dan itupun tidak benar-benar menekan sempurna tapi Dewa tetap terlonjak bangun.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang