36|Lun, Arjuna Kecelakaan

624 44 1
                                    

Dua lengan Dewa terentak sebelum mengejang kaku didepan dada. Luna menatapnya jerih sementara Irawan menekan beberapa jarum akupunturnya pada pelipis juga puncak kepala Dewa.

"Tidak apa-apa, Dewa hanya terkejut. Otot dan saraf tubuhnya kaku karena terus berbaring dan Padre sedang mencoba untuk memperlancar aliran darahnya."

Luna mengangguk saja. Tidak pernah meragukan kemampuan padrenya tersebut. "Untuk operasinya..."

"Sudah Padre jadwalkan. Dewa akan segera dioperasi begitu kita tiba di Jerman. Prof. Armando sudah memberikan persetujuan dan juga jadwalnya. Untuk itu, kita harus bersiap-siap dengan cepat."

"Eungh-" bibir Dewa merintih. Tidak lama membuka dan justru kini melenceng kearah kiri.

"Padre, sepertinya Dewa sangat kesakitan." Luna tergugu dan sangat tidak tega melihatnya. "Lakukan sesuatu Padre..."

"Ini karena teman lelakimu itu yang sudah membuat emosi dan pikiran Dewa menjadi tidak stabil. Dewa berubah menjadi sangat sensitif." Lalu Irawan menekan beberapa titik dada Dewa. Melakukan hal yang sama dengan bagian kepala dengan memberikan terapi akupuntur andalannya.

Tubuh Dewa merespon dengan cepat. Perlahan terkulai dan tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kaku atau kejang. Begitupun ketika akhirnya beberapa jarum akupuntur lain ditekan dibeberapa titik tubuh seperti sisi leher dan tengah kening.

"Kita biarkan Dewa beristirahat. Penerbangannya nanti akan membuat tubuhnya sangat kelelahan."

Luna mengangguk dan meskipun enggan tetap bergeser untuk membiarkan padrenya lebih leluasa dalam memeriksa dan mengambil tindakan terhadap Dewa. Setelah dirasanya tubuh Dewa kembali tenang, barulah Irawan mengeluarkan stetoskop dan menekankannya pada bagian dada. Pelan sekali dada ringkih milik Dewa tersebut naik turun beraturan.

Setelahnya Irawan beralih menaikan kelopak Dewa untuk memeriksa reflek pupil mata. Dewa masih mampu untuk meresponnya. Terakhir, Irawan melepaskan masker oksigen yang merungkup wajah Dewa dan menyisakan nasal cannula saja disana. Dewa belum bisa dilepaskan tanpa alat bantu pernapasannya tersebut.

"Berapa lama durasi kejangnya tadi?"

Luna menggumam tidak yakin. Terlalu panik untuk meperhatikan detail. "Lebih dari lima menit."

"Hm... kondisi tubuhnya memang agak menurun. Pneumonianya memang sudah clean, tapi paru-parunya mengalami penurunan fungsi. Wajar saja karen memang Dewa memiliki fisik yang sangat lemah."

Luna mangangguk kecil, jelas tahu lebih baik dari siapapun mengenai hal tersebut. Tatapannya lekat pada Dewa yang terbaring terlentang dengan begitu lemahnya. Pandangan Luna menyendu. Wajah Dewa pucat sekali dengan cekungan dibawah matanya yang semakin ketara.

"Padre... apakah harus dioperasi lagi?" Luna meneguk gugup. "Nggak bisa diterapi saja? Kasihan Dewa kalau harus tinggal di bangsal isolasi lagi..."

"Tidak bisa. Tetap harus dioperasi." Irawan menjawab dengan serius. "Lagipula memang sudah waktunya pemeriksaan rutin. Dewa juga perlu dapat tambahan serum untuk menopang tubuh ringkihnya."

Lagi-lagi Luna hanya mampu menghembuskan napasnya lelah. Takut sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Dewa di meja operasi. Tentu saja karena fisiknya yang begitu rentan. Dewa juga pasti akan sangat sedih kalau mengetahuinya. Seringnya bahkan membutuhkan waktu sampai berminggu-minggu lamanya hingga Dewa kembali pulih pasca operasi.

Proses recovery tubuhnya memang lambat sekali. Bahkan saat inipun, sudah dua hari Dewa dalam kondisi fluktuatif dan Luna sedih setiap kali mengingat belum melihat Dewa mendapatkan kesadaran utuhnya.

"Untuk sekarang, Padre akan siapkan suntikan anti kejangnya. Ranti, tolong gantikan pakaian Dewa sekalian di washlap badannya. Dia harus tetap bersih atau bisa saja imunnya yang lemah membuatnya sakit."

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang