40|LUNA: Yang Hilang

437 50 4
                                    

Satu minggu pertama Luna masih belum bisa terlepas dari kekalutannya. Baru diminggu-minggu kedua Dewa mendapatkan penangan medis di salah satu rumah sakit Neurologis ternama Jerman, Luna mulai merasakan adanya sebuah kejanggalan.

"Saya mau menemani Dewa."

Perawat yang sebelumnya selalu bejaga dibagian nurse station tersenyum menahan. "Saat ini pasien baru saja mendapatkan visit dari beberapa dokter. Kondisinya masih memerlukan pemantauan khusus dan penting untuk selalu memasikan keadaannya tetap steril."

Ini bukan pertama kalinya. Hari ini saja, total sudah empat kali entah itu dokter atau profesor dari badan penelitian yang datang untuk memeriksa Dewa. Luna hanya terus menahan diri karena tidak juga diizinkan masuk.

"Paling tidak saya harus tahu apa yang terjadi di dalam. Dokter Irawan mengatakan jadwal operasinya sudah diputuskan. Prof. Armando juga mengatakan kalau tindakan apapun itu sangat memerlukan kehati-hatian."

Perawat masih mencoba menjelaskan. "Semua tindakan medis yang dilakukan tentu saja sudah atas persetujuan dari Prof. Armando dan juga Dokter Irawan sebagai dokter utama pasien."

"Kalau begitu, sambungkan saya dengan Dokter Irawan."

"Untuk saat ini, Dokter Irawan masih berada di laboratorium dan belum bisa dihubungi. Pasien dalam masa observasi akan dialihkan pada beberapa dokter ahli."

Luna mengernyit. Belum habis dirinya merasa tertekan atas keputusan operasi lanjutan yang bahkan tidak sama sekali melibatkan dirinya untuk keputusan sepenting ini. Apalagi padrenya yang sampai saat ini sulit sekali untuk dihubungi.

Dewa mendapatkan total empat kali operasi besar dibagian kepala, bedah thorax untuk mengangkat serpihan tulang rusuk yang menembus paru-patu serta operasi paling beresiko dibagian tulang belakang. Itu belum termasuk dengan operasi-operasi kecil lainnya mengingat beberapa tulang kaki sampai menyembul keluar.

Keadaan Dewa masih kritis tetapi meski begitu, Luna tetap harus merasa bersyukur karena diantara semua kesakitan tersebut dan Dewa mampu bertahan. Selama ini, Luna hanya dibiarkan menunggu diluar ruangan sementara tim Dokter dan perawat bergantian memeriksa setiap satu jam sekali.

Beberapa dokter dengan basaha asing bahkan memberikan catatan, mengambil sampel darah atau sekedar pemeriksaan vital lainnya. Awalnya Luna berpikir itu karena kondisi Dewa memang sedikit khusus tetapi akhir-akhir ini semuanya semakin diluar kendalinya.

"Kapan Dokter Irawan menyelesaikan urusannya di laboratorium? Saya perlu bicara."

"Sayang sekali karen saya tidak bisa memastikannya."

Luna muali kesal sekarang. "Kalau begitu biarkan saya bertemu dengan Prof. Armando."

Perawat tersebut mengulas senyum tipis, lalu pintu ruangan intensif dimana Dewa dirawat terbuka. Pintu ganda kaca tersebut hanya bisa dibuka dengan menggunakan akses khusus sementara Luna tidak memilikinya. Sosok Prof. Armando yang sempat disinggung oleh Luna tampak keluar masih dengan pakaian sterilnya.

"Luna? Ada apa ini?" Prof. Armando menatap perawat yang menunduk dengan raut tenangnya. "Kenapa Luna belum diantarkan untuk beristirahat?"

"Nona Luna menolak diantarkan ke paviliun, Prof."

"Benar begitu?" Prof. Armando yang Luna kenali sebagai rekan dekat padrenya terlihat menatap Luna. "Kamu sudah menunggu Dewa selama operasi dan saya rasa Padre kamu tidak akan senang melihat kamu masih berkeliaran dengan wajah pucat dan kantung mata menghitam seperti ini."

Luna menggeleng, "saya bisa beristirahat nanti. Sekarang, tolong izinkan saya masuk. Saya mau melihat dan memastikan sendiri kondisi Dewa."

Kali ini, Prof. Armando saling bertukar tatapan dengan perawat yang kemudian mengangguk membenarkan. Atas sikap keras kepala Luna tersebut hingga akhirnya Prof. Armando sendiri yang meminta perawat tersebut untuk kembali menempati nurse station.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang