15| Move

594 42 0
                                    

"Nak Luna, ayo tambah lagi supnya." Ibu Kasih menatap Luna yang setengah melamun, "sup buatan Seruni ini enak sekali. Memang pintar dia memasaknya."

Seruni tersipu dan mengucapkan terima kasih dengan malu-malu. Sementara Luna hanya mengangguk dengan ekspresi kaku ditempat duduknya. Bukannya tidak sadar, sedari tadi sepasang mata elang milik Arjuna yang duduk diseberang mejanya terus saja menatap lekat. Kalau saja tidak mempedulikan sopan santun, Luna benar-belar ingin segera meninggalkan tempat ini sekarang juga.

"Kak, mau tambah lagi supnya?"

Melalui ekor matanya, Luna menemukan Arjuna yang hanya menggeleng kecil. Bahkan masih sempatnya menggeser gelas air minum miliknya dan tanpa canggung Seruni mengisinya kembali.

"Cukup."

Luna meremat sendok dan garpu ditangannya sedikit lebih keras. Suara itu... adalah suara yang bahkan dalam mimpi sekalipun tidak berani Luna bayangkan. Tidak terpikirkan olehnya akan datang hari dimana dirinya harus kembali berhadapan dengan mata elang milik Arjuna.

Tajam dan jelas mengintimidasi siapapun yang menjadi lawan bicaranya. Dan mata yang sama juga adalah mata yang pernah menatapnya dengan begitu lembut. Tapi sekali lagi, Luna harus menahan dirinya. Itu sudah dulu sekali... bahkan mungkin Arjuna sudah benar-benar melupakannya sekarang.

Apalagi melihat bagaimana luwesnya interaksi antara Arjuna dan Seruni selama mereka berada di meja makan, sepertinya memang benar dugaannya. Lelaki tersebut adalah Arjuna. Tunangan Seruni yang sempat disnggung oleh Dokter Henry sebelumnya tidak lain adalah Arjuna yang sama. Hal ini sekaligus menjawab mengapa Luna merasa begitu tidak asing dengan super car yang sempat dilihatnya di halaman panti.

B 413 NA. Bagaimana mungkin Luna melewatkan hal sepenting itu?

"Dokter Luna, setelah ini tolong antarkan dulu sampel darah ke Lab rumah sakit. Sepertinya tidak akan sempat kalau saya yang menbawa karena saya harus kembali ke ruang OK pukul dua."

"Baik Dokter,"

Ibu Kasih justru yang menegur halus, "sekalian saja nanti ke rumah sakitnya berdua. Bukannya tujuan kalian sama?"

Entah untuk alasan apa, Luna melirik Arjuna yang masih tampak tenang dikursinya. "Saya sendiri saja Ibu. Kebetulan tadi juga kami membawa mobil sendiri-sendiri."

"Benar, Bunda. Dokter Luna ini wanita yang mandiri. Nanti paling Henry ikuti saja pelan-pelan dari belakang."

Baru setelahnya Ibu Kasih mengangguk. Luna pikir dirinya sudah lolos dari situasi canggung tersebut tetapi segera setelah menyelesaikan makanannya dan Ibu Kasih justru membuka topik lain yang lebih membuat Luna enggan. "Ibu dengar Luna sudah stase dua ya di junior residen? Sempat mengurus transfer dari rumah sakit di Jerman? Itu hebat sekali loh... diusia semuda ini sudah memiliki pengalaman yang luas."

Dokter Henry memandang Luna dengan tersenyum sungkan. Tanpa perlu meminta penjelasan karena sudah jelas darimana informasi tersebut berasal. Yang bisa Luna lakukan hanya mencoba bersikap setenang mungkin.

"Benar Bu, saya memang menyelesaikan stase satu saya di Jerman."

"Dokter Cyntia sempat bercerita kalau kalian ternyata satu angkatan, dan surprisely ternyata kita juga satu almamater Dokter Luna." Dokter Henry terang-terangan mencoba mengakrabkan diri.

Cyntia sudah mulai mengajukan proposal pendidikan spesialisnya sementara Luna baru memulai sesi residennya. Luna jelas tidak menyukai pembahasan ini!

"Sebenarnya, kami juga tidak terlalu dekat." Elak Luna dengan wajah sedikit kaku. "Saya termasuk yang tidak suka bergaul dulu."

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang