Ketegangan dalam ruangan tengah Apartemen Arjuna semakin pekat. Terutama setelah pengakuan Luna yang bagi Arjuna sangat tidak masuk akal tersebut.
"Aku harus pergi sekarang." Luna yang kembali setelah menelepon langsung menarik atensi dua orang lelaki yang terpekur dengan isi kepala berbeda.
"Mau kemana?" Arjuna yang pertama bangkit, "kenapa-kamu menangis?!"
Sontak saja seruan Arjuna tersebut direspon oleh Abimanyu. Keduanya kini menatap lekat pada Luna. "Kenapa Lun? Apa terjadi masalah?"
Benar. Luna dalam masalah sekarang karena Dewa yang terbangun bisa saja menyadari kepergiannya. Jangan sampai kondisinya drop lagi. Tapi, Luna juga tidak mungkin mengatakannya.
"Aku harus pulang. Kita bicara lain waktu saja." Secepatnya Luna meraih tas tangan. Tapi belum sempat melangkah dan lengannya sudah kembali ditahan. Siapa lagi kalau bukan oleh Arjuna? "Please... biarin aku pergi."
Bahkan tatapan memelas Luna hanya semakin membuat Arjuna frustasi. "Lun, aku nggak mungkin biarkan kamu pergi dengan kondisi seperti ini. Lebih nggak mungkin lagi diam aja padahal tahu kalau kamu sedang dalam masalah. Jadi, aku yang please... sekarang. Demi kewarasan aku, tolong kamu jelasin dulu. Ada apa? Kenapa tiba-tiba menangis?"
"Aku..." Luna tidak tahu lagi harus mengelak bagaimana. Jadi, ketika akhirnya meraup wajah dan bahunya mulai bergetar, tangisnya luruh begitu saja.
"Ssshhh... nggak apa-apa, oke? Ada aku disini." Arjuna yang kemudian menarik Luna dalam pelukannya berusaha menenangkan. Kembali tatapannya bertemu dengan Abimanyu yang jelas sama bingungnya. Mereka dalam posisi yang serba salah disini. "Maaf karena tadi bicaranya keras, ya?"
Entah kapan terakhir kali Luna diusap punggungnya dan ditenangkan seperti yang sekarang ini Arjuna lakukan padanya. Karena dalam lima tahunnya, Luna selalu menangis dan menanggung beban atas kondisi Dewa yang bisa saja tiba-tiba memburuk seorang diri.
"Aku cuma... bingung. Rasanya serba salah." Isak Luna. "Aku berjanji sama Padre untuk fokus... sama Dewa. Sekarang, bukan hanya aku membohongi dan menyampingkan Dewa, tapi aku juga melupakan tujuan awal aku pulang ke Indonesia. Aku... aku merasa buruk sekali."
Satu kalimat yang akhirnya membuat Abimanyu juga merasa bersalah. "Lun, bukan salah kamu oke? Masalah Dewa, masalah Seruni... semuanya bukan salah kamu."
Lalu Arjuna mendengus dibelakang punggung Luna. Tepatnya kepada Abimanyu yang terang-terangan menyalahkannya. Tapi tidak berkomentar lebih atau membalas pedas kalimat sahabatnya tersebut. "Iya, bukan salah kamu. Dari awal kan memang aku yang memaksa kamu."
Cih! Tanpa suara Abimanyu mendecih sinis. Tapi sepemikiran dengan Arjuna untuk tidak lagi membahasanya atau Luna akan semakin menyalahkan dirinya sendiri.
"Dewa itu... sakit." Lirih Luna. "Kalian nggak akan membayangkan hari-hari seperti apa yang aku lalui untuk sampai dititik ini. Kondisi Dewa... cedera tulang belakangnya... semuanya adalah tindakan penuh resiko. Dewa memang selamat tapi nggak pernah benar-benar kembali pulih."
Arjuna juga Abimanyu menyimak dengan penuh keterbukaan atas sikap Luna yang akhirnya memulai bercerita. "Tapi kenapa harus Jerman, Lun?"
"Karena Padre memiliki project penelitian disana. Selain itu, banyak profesor kenalan Padre yang siap untuk nggak menyerah dan menyelamatkan Dewa."
"Kamu setuju?" Gumam Abimanyu, "kalian langsung membawa Dewa ke Jerman lima tahun lalu?"
Luna mengangguk dan Abimanyu juga Arjuna kembali terlibat saling pandang. "Pandu dan Abim sempat ngecek semua maskapai penerbangan dan benar-benar nggak menemukan jejak kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...