13|Maaf dan Terimakasih

726 58 3
                                    

Bayangan lampu di langit-langit lorong menjadi pemandangan yang samar diingat. Suara roda brankar didorong cepat dan terburu-buru. t
Tubuhnya kaku sementara selang panjang menjulur dari bagian dalam mulut dan menembus tenggorokannya.

Bunyi bip dari alat pendeteksi detak jantung satu-satunya yang terdengar begitu dekat. Sepertinya mesin tersebut diletakan tepat diatas kepalanya.

"Perhatikan tekanan darahnya!"

"Darahnya tidak mau berhenti!"

"Tulang rusuk patah dan menekan paru-paru."

Dewa masih samar mendengarnya. Pandangannya memburam sementara telinganya bertambah sensitif. Bunyi bip panjang terdengar dan sebuah tekanan menyakitkan menbuat Dewa menyentak.

"Kesadaran terus menurun!"

Dug

Bunyi keras terdengar begitu dekat disusul rasa menyengat yang teramat menyakitkan dibagian dada.

"...wa..."

"Dewa!"

Rasanya persis seperti dijatuhkan dari ketinggian puluhan meter. Tubuh Dewa tersentak dan napasnya terengah-engah. Tangan gemetar Dewa langsung meremas dada kuat-kuat. Tepat dibagian sengatan tersebut menyiksanya.

"Sakit..." erangnya mencoba bernapas meski sukit.

Ternyata semuanya hanya mimpi.

"Dewa... astaga! Lihat aku, kamu baik-baik saja... lihat aku... kamu aman disini." Luna berujar panik mengguncang bahu Dewa agar menatapnya. Kepanikannya tidak juga berkurang apalagi menatap bola mata Dewa yang mulai berotasi acak.

Jarum jam di dinding menunjukan pukul dua pagi. Itu berarti baru sekitar tiga jam Dewa berhasil terlelap dan kini terbangun kembali dalam keadaan kacau. Sepertinya mimpi buruk itu datang lagi. Hampir selalu, setiap terserang demam, suhu tubuhnya yang tinggi membuat Dewa mendapatkan mimpi yang sama.

Itu mimpi mengerikan tentang hari kecelakaan lima tahun lalu. Dewa tidak suka menceritakan detailnya dan Luna juga tidak mau memaksa. Lebih kepada takut dirinya sendiri yang jauh lebih terluka mendengarnya.

"Minum dulu, ya?" Luna mendekatkan ujung sedotan pada bibir Dewa yang gemetaran pucat.

Dewa tanpa sengaja menepisnya. Tubuhnya masih menggigil hebat. Tatapannya tidak fokus dan jelas masih bersikap defensif bahkan terhadap sentuhan Luna.

Luna berhati-hati menangkup wajah Dewa. Diangkatnya perlahan hingga pandangan keduanya bertemu. "Lihat aku.... lihat aku, please..."

"Ng—rrrrr...." gigi Dewa bergemelatuk keras dan sepertinya genggaman tangan Luna tidak memberikan efek ketenangan yang berarti.

"Tenang oke? Please... please... please..." Luna langsung meraih tubuh gemetar Dewa dalam dekapan kuat. "Jangan begini... aku takut."

Dewa menceracau tidak jelas. Butuh bermenit-menit hingga akhirnya tubuh dalam dekapannya meluruh tenang. Menyisakan gemetar-gemetar yang masih terus terasa.

"A—aku.... mereka..." Dewa mengatakannya dengan ketakutan yang nyata. "Mereka datang... sakit! Mereka... darah... sakit!"

"Shh.... tenang, ya? sekarang ada aku. Kamu aman disini sama aku..." Luna menciumi kepala Dewa berkali-kali dan berusaha nenenangkan.

Masih tidak melepaskan Dewa, Luna berusaha mendekatkan tabung oksigen berikut dengan nasal cannula. Setelah memutar katup tabung oksigen, segera saja ditariknya kepala Dewa dari dadanya. "Pakai ini ya biar lebih lega napasnya. Sekarang... tarik napasnya yang panjang..."

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang