Jakarta, Indonesia
Lima tahun kemudian..
.
.Luna baru saja selesai mandi, rambut panjangnya tergerai dalam keadaan setengah basah. Bibirnya tersenyum tipis mengintip matahari yang sepertinya akan cerah dipagi ini. Beberapa hari belakangan, kerap sekali turun hujan hingga membuatnya sering merasa khawatir.
Langkah kakinya yang mengenakan selop rumahan bergerak kearah jendela kaca besar dan menyibak masing-masing khorden hingga cahaya hangat menerobos masuk.
Seseorang yang berbaring ditengah ranjang king size ruangan tersebut menggeliat dan mengerjap silau karenanya. Luna membiarkan lelaki tersebut terbangun sepenuhnya sementara dirinya bergerak mengisi air hangat pada wadah yang memang disediakan di dalam kamar mandi.
"Nggh... sudah pagi?"
Luna mengangguk menanggapi pertanyaan dari lelaki yang sibuk mengucek kedua matanya tersebut. Dirinya meletakan wadah diatas nakas disamping ranjang, baru mendudukan diri ditepian.
"Makanya kalau ada orang bangunin itu dengar, bukannya malah balik tidur lagi."
Bibir pucat lelaki tersebut mengulas senyuman, "ngantuk Lun..."
"Manja," decih Luna. Meski begitu, sebelah tangannya bergerak mengusapi kening lelaki tersebut. Dewanya. "Sekarang ayo bangun dan bersih-bersih dulu." Luna menelusupkan kedua tangannya diantara ketiak Dewa dan mengangkatnya hingga lelaki tersebut bisa setengah duduk bersandar pada headboard ranjang.
"Sshhh...." Dewa meringis pelan.
Terlihat begitu kesakitan hany dengan gerakan ringan yang Luna lakukan. Padahal Luna sendiri sudah melakukannya dengan selembut mungkin. Tapi Dewa tetap merintih kesakitan ketika punggungnya ditegakkan
Luna menggeser tubuh Dewa sedikit kesamping dan tangannya menyusupi punggung kurus lelaki tersebut. Selanjutnya, memberikan pijatan ringan disana. Terus hingga bagian belakang leher yang sepertinya terasa kaku hingga Dewa mengerang semakin kesakitan.
"Aku kebanyakan tidur deh kayaknya. Berat enggak?" Dewa bertanya dengan senyum lemah. Sedikit bernada cengengesan meskipun bibirnya tidak berhenti meringis menahan sakit
"Memangnya apalagi? Tidur kan sebagian dari hobi kamu. Lagian mana ada berat. Kamu tuh, ringan banget!" geruru Luna. Meskipun tidak sama sekali mengurangi sikap lembutnya.
"Memangnya mau apalagi? Main gitar sebentar aja udah engap, apalagi main alat musik yang lain? Jelas mustahil kan? Bisa-bisa aku digelandang ke ICU lagi seminggu."
"Sebulan aja sekalian kalo perlu. Habisnya suka bandel!" Dengus Luna lagi. Lalu, Luna melirik sinis dengan lebih serius. Meskipun dikatakan dengan nada ringan seolah hal tersebut bukanlah apa-apa, Luna jelas tahu lelaki di hadapannya ini sedang tidak baik-baik saja.
"Habis dari ICU bisa dikirim ke kamar jenazah enggak?" Kekeh tipis Dewa suarakan.
"Stop ngomong aneh-aneh begitu. Ayo sekarang buka dulu bajunya." Luna memang sangat kesal dan meski terkesan selalu menghindari topik sensitif semacam itu, dirinya tetap bergerak melepasi kancing piyama bagian atas yang dikenakan Dewa.
"Gitu aja marah. Nggak asih, ah... uhuk... uhukk..."
Luna meotot, "diem, enggak?" Tangannya mengelus dada Dewa dengan tujuan menenangkan. "Jadi batuk kan?"
Cengiran Dewa semakin lebar, diraihnya kedua tangan Luna yang ada di dadanya. Luna sendiri menatapnya dengan wajah sebal. "Kenapa lagi? Nggak mau mandi?"
"Semangat banget mau buka-buka baju orang. Dosa loh kamu lihat-lihat aku nggak pakai baju begini..."
Luna memutar bola matanya malas. Dewa sedang kumat menyebalkannya dan Luna paling malas kalau harus berhadapan dengan Dewa yang seperti ini. "Jangan mulai!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...