Bougenville room 304
VIP Central Hospital"Tekanan darahnya rendah sekali. Sebaiknya memang diberi transfusi." Gumam Luna begitu selesai mengoleskan cologne pada sisi leher Dewa.
"Non Luna... apa Mas Dewa akan baik-baik saja?" Ranti yang datang dengan dua kaus kaki milik Dewa menatap sedih. "Dari tadi Mas Dewa hanya diam saja."
Meski berusaha mengulas senyum kecil, tapi Luna juga sama khawatirnya. "Dewa memang memiliki riwayat pembedahan di kepala. Jadi wajar kalau respon otaknya agak sedikit lambat apalagi belum sampai duapuluh empat jam setelah prosedur CT otak."
"Begitu?" Ranti mengamati Dewa yang diam dan hanya mengedip-ngedip lemah. "Saya takut saja terjadi sesuatu yang buruk. Kalau kejang lagi bagaimana? Disini nggak ada Dokter Farhan yang bisa menangani."
"Tolong jangan sebut nama Dokter Farhan lagi. Dia itu sudah benar-benar keterlaluan." Luna dengan tegas memperingatkan. "Kalau hari ini Arjuna nggak datang dan menemukan pengawal bayaran itu... entah sampai kapan saya akan dibodohi. Demi Dewa apanya? Dia berusaha untuk mengurung Dewa disana!"
"Tapi tadi bukannya Dokter Irawan sudah menelepon dan mengatakan kalau Beliau juga tahu dan nggak keberatan dengan adanya penjagaan ini?" Ranti hati-hati dalam berbicara. "Berarti bukan salah Dokter Farhan-"
"Cukup," Luna meraup wajahnya yang kusut. "Saya tidak mau membicarakannya lagi. Sekarang saya sangat pusing jadi tolong jangan dibahas lagi."
Meski tidak puas, Ranti juga tidak bisa mengatakan apapun lagi. Akhirnya memilih diam dan menghubungi Dokter Farhan untuk rencana selanjutnya. Luna juga masih terlalu sensitif untuk diajak berbicara. Pastinya karena kehadiran Arjuna yang membuatnya semakin merasa bisa berbuat seenaknya.
Tentu Ranti tidak akan tinggal diam.
"-Ranti?" Luna yang memanggil berulang kali tetapi tidak juga mendapatkan respon akhirnya menaikan nada suaranya. "Mbak?"
"Oh, maaf Non tadi saya... sedikit melamun karena terus kepikiran Mas Dewa."
Luna mendesah lelah. Dirinya juga demikian. Dewa baru saja dipindahkan ke bangsal rawat inap umum di lantai tiga. Inginnya memang membawa Dewa pergi, tapi kondisinya masih belum memungkinkan sehingga Luna pikir terlalu beresiko untuk membawanya dari rumah sakit.
"Nggak apa-apa, Mbak juga pasti lelah. Tolong nanti barang-barang Dewa ditata lagi di nakas pakaian."
Ranti mengangguk lalu beranjak untuk mengemasi tas yang dibereskannya terburu-buru ketika Luna membawa Dewa pergi. Ini bukan lagi lantai duapuluh lima, jadi tentu tindakannya tidak akan seleluasa sebelumnya. Tapi Ranti akan mencari caranya.
Tidak lama pintu ruangan diketuk dan seorang perawat memasuki ruangan. Luna beranjak dari sisi bed Dewa dan membalas sapaan perawat tersebut. "Selamat sore juga, suster."
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...