Abimanyu datang paling terakhir. Napasnya masih terdengar putus-putus saat akhirnya sampai di depan ruangan ICU dimana sahabatnya terbaring diantara hidup dan mati. Dirinya masih berada di Kanada saat Pandu menelponnya dengan panik.
Pandu yang jarang sekali serius sampai terisak ketika menelponnya, dan itu berarti menandakan satu hal. Kondisi Dewa benar-benar kritis di dalam sana.
"Bagaimana bisa ha?! Bukannya tadi lo info dia masih dirawat?!" Abi menatapi satu persatu sahabatnya.
Di depan ruangan hanya ada Pandu dan Luna yang tampak sangat kacau. Terlebih Luna yang duduk terpekur dengan kaus bernoda darah. Abi mendadak sakit kepala memikirkan bagaimana darah sebanyak itu sampai mengotori pakaian Luna.
Tanpa kata Abi melepas jaket miliknya dan menyampirkannya di punggung Luna. Gerakannya tersebut tidak sama sekali mengusik Luna. "Dewa kuat, dia pasti baik-baik aja."
Barulah Luna mengangkat wajah. Netra Luna mengerjap dan begitu saja air mata mengaliri pipi putihnya. Dia menagis terisak-isak.
"Its oke, Dewa pasti baik-baik aja Lun. Kita hanya harus berdo'a buat dia. Tuhan tahu kalau Dewa anak baik, jadi Tuhan pasti akan menyelamatkan Dewa." Abi mengusap bahu Luna yang bergetar.
Luna kembali menangis, tanpa suara. Perempuan tersebut menurut saja saat Abi yang menekuk lutut dihadapannya meraih tubuhnya dalam pelukan. Mereka butuh untuk saling menguatkan. Setidaknya untuk sat ini. Dimana Luna bahkan tidak mampu mengendalikan emosi dan akal sehatnya.
Abi melirik Pandu yang masih setia tertunduk dengan punggung bersandar pada sisi dinding. Tidak banyak yang menyadari kalau kedua tangan Pandu yang terlipat sudah bergetar sejak pertama mengangkat tubuh Dewa yang banjir darah.
"Semuanya pasti baik-baik aja..." ujar Abi lebih kepada dirinya sendiri. Benar, karena sejujurnya dirinya juga butuh kalimat penenangan tersebut untuk bisa membuat sahabat-sahabatnya ini begitu.
Abi harus menjadi yang kuat disaat para sahabatnya berada di titik rendah. Arjuna mendadak tidak bisa dihubungi tidak peduli berapa kalipun dirinya mencoba. Beberapa saat lalu, orang nya memberi kabar bahwa sahabatnya tersebut sudah meninggalkan Indonesia.
Dirinya tidak tahu apa alasannya. Tapi... hati kecilnya berharap bahwa Arjun pergi tanpa mengetahui kondisi Dewa. Karena jika tetap pergi padahal tahu... Abi sendiri yang akan datang dan menyeret si tengil itu untuk kembali. Tidak peduli dimanapun Arjuna berada saat ini.
Butuh beberapa saat hingga tangis Luna mereda. Abi bahkan harus membujuk beberapa kali hingga Luna mau sekedar membersihkan diri dan berganti pakaiannya yang kotor. Pasti rasanya tidak nyaman sekali dan Luna bahkan mengenkan pakaiannya sejak tadi. Sahabatnya tersebut sepertinya benar-benar terpukul.
"Sudah coba hubungi keluarganya?" Tanya Abi ketika ketiganya sudah duduk dalam keadaan yang lebih tenang.
Luna menggeleng sementara Pandu menatap Abi dengan mata memerah. "Ngapain hubungi orang yang bahkan nggak punya hati?! Dewa sekarat di dalam sana dan mereka bahkan nggak datang! Sialan!"
"Dokter pasti menanyakan keluarga—"
"Kita keluarganya!" Seru Pandu tersulut emosi. "Cuma karena kita nggak berbagi darah yang sama bukan berarti kita bukan keluarga!"
Abi memaklumi sikap emosional Pandu. Sahabatnya yang satu ini memang kelewat sensitif jika sudah menyangkut masalah keluarga. Apalagi Dewa yang anak rantau dan sudah tidak memiliki orangtua, hanya tersisa bibinya yang bahkan sudah menikah lagi di Surabaya sana.
"Biar gue yang urus, biar gimanapun mereka berhak diberitahu tentang kondisi Dewa." Abi mengambil sikap dengan tetap menghubungi keluarga Dewa. Setidaknya ini adalah hal benar yang harus dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...