48|Like Father Like Son

414 48 21
                                    

Arjuna mendekap tubuh Dewa dalam gendongannya. Harapannya hanya satu, napas Dewa masih terus tersambung sampai dirinya berhasil membawanya keluar dari bangunan rumah dua lantai tersebut.

Asap tebal langsung menyambutnya begitu keluar dari ruangan tempat Luna dan Dewa sebelumnya berada. Rupanya api sudah hampir menguasai seluruh area di lantai satu. Khorden panjang dan sofa-sofa tampak mengobarkan api yang menyambar-nyambar.

"Sial!" Desisnya. Peluh menetes dan Arjuna masih harus melindungi Dewa dari sisi-sisi lain yang berapi. "Bertahan Wa! Awas kalau berani mati!"

Arjuna melompati beberapa anak tangga sekaligus dan sebisa mungkin menahan bobot tubuh Dewa agar tetap aman dan seimbang di punggungnya.

"Brengsek!" Arjuna mengumpat lagi. Kali ini lebih keras dibandingkan sebelumnya.

Pintu depan tertutup dan sepertinya sengaja diganjal dengan menggunakan sesuatu dari luar. Arjuna menyesal kenapa tadi tidak sekalian saja dirinya hancurkan pintu tersebut saat menendangnya untuk masuk.

"Lo harus berterima kasih dulu sama gue Wa! Jangan berani-berani mati!"

Arjuna terengah tetapi tetap berusaha menjaga tubuh Dewa tetap aman. Selanjutnya yang dilakukannya adalah mundur dan mengambil ancang-ancang untuk kembali menendang.

Satu tendangan.

Dua tendangan.

Tiga tendangan.

Dan akhirnya pintu tersebut roboh, terjerembab kearah luar dengan ensel menggantung. Ada balok kayu yang terlempar didepannya. Segera saja Arjuna menendangnya sejauh mungkin karena kesal sudah menghambatnya. Arjuna membawa Dewa ketempat yang menurutnya lebih aman dari jangkauan asap dan api. Selanjutnya menurunkan tubuh Dewa perlahan diantara rerumputan halus halaman depan.

"Wa! Dewa..." Arjuna menepuki pipi cekung Dewa untuk membangunkannya. "Lo bisa mendengar suara gue?"

Sejujurnya Arjuna sendiri takut mengingat kondisi Dewa yang begitu lemah. Ditambah lagi dengan kepulan asap yang sudah pasti memasuki jalur napasnya. Dengan tubuh serentan ini bagaimana Dewa mampu bertahan?

Mendadak tengkuk Arjuna dialiri rasa dingin. Takut kalau sampai ada hal buruk yang menimpa Dewa. Bagaimana kalau dirinya sampai gagal menyelamatkan Dewa?

"Dewa... lo nggak bisa mati secepat ini!"

Sayangnya, tidak peduli berapa kalipun Arjuna mencoba untuk mendekatkan telinga pada bagian dada dan memeriksa detakan kehidupan Dewa tidak dapat dirasakannya. Sudah hampir separuh putus asa, Arjuna memeriksa desah napas Dewa melalui embusan hidung.

Nihil.

"Please... please bertahan Wa!" Seru Arjuna panik dan mulai menekan-nekan dada Dewa dengan gerakan ritmis. "Lo belum boleh menyerah!"

Arjuna menahan untuk tidak mengerahkan tenaganya saking gamang dan panik saat menekan dada Dewa. Tubuh sahabatnya ini kelewat terlalu ringkih. Bisa-bisa tulang rusuk Dewa berakhir patah kalau dirinya menekan terlalu keras dengan tenaganya.

Arjuna berdecak frusrasi saat detakan dan napas Dewa belum juga dirasakannya kembali. Padahal dirinya masih harus segera kembali untuk mengeluarkan Luna dari bangunan terbakar tersebut. Tetapi perasaannya gamang antra pergi atau bertahan. Bagaimana kalau saat dirinya pergi justru Dewa benar-benar tidak bisa diselamatkan lagi?

"Dewa.. please... bangun Wa! Lo nggak boleh buat Luna lebih sedih dari ini!" Teriakan Arjuna kian menggelegar. "Bangun brengsek!"

Terlalu fokus pada kondisi Dewa sampai membuat Arjuna mengendurkan kewaspadaan. Ingatnya, tidak ada siapapun ditempat itu selain mereka bertiga sampai seseorang yang sengaja mengendap dan berjalan tanpa suara mulai mendekatinya dari arah belakang punggung.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang