Pukul sebelas malam, sebenarnya sudah cukup larut tetapi Arjuna memilih tinggal dan menemani Luna yang sedang berusaha menenangkan diri. Abimanyu sudah pergi sejak dilempari Luna dengan bantal sofa dan hampir saja menggunakan pajangan kayu di meja ruang yengah.
"Pergiiii!!" Luna berteriak dan meraung histeris. Emosinya naik turun dan terlihat sangat labil.
Arjuna yang menangkap situasi chaos tersebut akhirnya meminta Abimanyu untuk pergi terlebih dahulu sementara dirinya yang akan tinggal untuk menjaga Luna. Bagaimanapun, Luna tetap bersikeras ingatannya baik-baik saja sementara Arjuna dan Abimanyu jelas berpikir sebaliknya.
"Aku ingat semuanya. Aku jelas-jelas ingat!" gumam Luna untuk kesekian kalinya. "Kamu percaya sama aku kan?"
"Sudah ya... besok kita bicarakan lagi. Sekarang sudah malam lebih baik kamu istirahat." Arjuna mengusapi bahu Luna lembut. Tidak mau sampai salah bicara atau Luna akan kembali kalut seperti sebelumnya.
Luna menyerongkan duduknya hingga lutut keduanya bersentuhan, "kamu percaya kan kalau aku ingat? Yang menabrak Dewa benar-benar Zifanya! Aku melihatnya sendiri, Jun..."
"Iya... besok kita bicarakan ini lagi oke?"
Setengah hati Luna mengangguk. Ingatannya sangat buruk tentang kejadian malam kecelakaan itu tetapi dirinya sangat yakin tahu kalau yang menabrak Dewa hingga sekarat jelas-jelas adalah Zifanya.
Masih sedikit khawatir kalau Luna akan kalut dan justru tidak bisa beristirahat karen terlalu memikirkannya, Arjuna merangkum wajah Luna untuk menarik fokusnya. "Lun..."
Luna menggeleng dan melepaskan diri, "kamu pulang aja. Aku... aku mau lihat Dewa." Baru saja bangkit berdiri dan Luna kembali dihempaskan duduk.
"Disini aja." Arjuna beralih merangkul bahu dan menyandarkan kepalanya dibahu Luna. "Nggak rela banget kamu masih memikirkan Dewa padahal ada aku."
Kening Arjuna didorong-dorong dengan menggunakan telunjuk. Sudah begitu, bukannya menyingkir justru Arjuna semakin sengaja menduselkan sebelah pipinya.
"Manja," Luna geli sendiri saat Arjuna menyerukan kepala disisi lehernya.
Arjuna tersenyum senang akhirnya bisa bermanja-manja bersama Luna. Hal yang mutlak hilang lima tahun belakangan selama Luna menghilang. Bedanya, dulu setiap melakukannya kalau tidak dihadiahi tonjokan ya tendangan. Luna memang galak sekali kepadanya.
Cukup berbeda dengan versi disampingnya ini. Galaknya masih sama, hanya saja Arjuna tidak lagi benar-benar didorong menjauh. Paling-paling hanya kena omelan dan kalimat-kalimat judesnya saja.
"Lun..."
Luna yang menyandarkan punggung pada punggung sofa menggumam, "hm?"
Tiba-tiba sebersit kenangan membuat Arjuna merasa begitu penasaran. Jika Luna saja bisa melupakan hubungan Dewa dan Zifanya lima tahun lalu, bukan tidak mungkin Luna juga melupakan segala hal yang pernah mereka bagi bersama.
"Lun... kamu ingat nggak malam dimana aku ninggalin kamu? Apa kamu ingat juga kalau kita berdua pernah dekat dulu?"
"Ingat. Aku nolak kamu lima kali." Luna sengaja menekankannya. "Pertama di B'Talk, terus waktu neduh hujan habis antara nasi kotak yang... er... kamu modus." Luna menunjukka keengganannya, "terus-"
"Oke, oke stop. Too much information." Arjuna memasang wajah sebal. "Maksud aku, kamu ingat nggak malam waktu di rumah sakit?"
"Kamu... nembak aku lagi?" Luna sedikit sulit mengingatnya. Hanya ingatan akan kecelakaan Dewa saja yang seolah melekat dan diingat betul detailnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...