"Saya tidak keberatan jika akhirnya begini. Lagipula tanpa Dewa, penelitian besar saya bersama Prof. Armando tidak akan pernah sukses. Dewa adalah objek satu tiga yang sangat berharga. Hidupnya adalah milik kami."
Kilasan kalimat dari padrenya tersebut terus saja membuat Luna merinding. Bagaimana mungkin ada manusia sekejam padrenya?
"Dewa tidak diizinkan untuk mati. Tapi hidupnya juga tidak akan pernah bisa bebas untuk selamanya."
Luna memejam dan tanpa sadar kembali meremat robe gaun yang dikenakannya.
"
Mbak Luna, apa ada masalah?"
Vania yang bertugas merias Luna sedikit merasa ada yang aneh dengan sikap kliennya tersebut. Pasalnya baru beberapa menit lalu Luna yang berpamitan memanggil padrenya untuk menanyakan tuxedo milik Dewa agar dicocokan dengan warna eyeshadow yang akan digunakan tiba-tiba saja kembali dengan begitu kacau.
Primer dan foundation yang sudah diaplikasikan bahkan terlihat pecah dan jejak air mata membuat riasan yang belum sempurna tersebut tampak begitu mengerikan. Terpaksa semuanya harus diulangi kembali untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
"S-saya... boleh break sebentar? Saya... butuh untuk pergi ke toilet sekarang."
Vania mengangguk meski masih dengan wajah bingung. Luna bahkan sempat terhuyung ketika berdiri dan itu semakin menambah kekhawatirannya. Tetapi Luna menolak untuk dibantu meskipun harus sedikit terseok dan berpegangan di dinding akhirnya berhasil keluar dari kamarnya yang terasa menyesakan tersebut.
Tubuhnya menyandar dan kembali Luna membekap mulut untuk menyembunyikan isakan. Tangisnya tidak tertahankan dan kembali pecah. Dirinya jelas tidak memiliki banyak waktu. Secepatnya, bagaimanapun caranya harus bisa membawa Dewa pergi.
Tapi sebelum itu... dirinya perlu untuk memeriksa sesuatu. Dengan langkah mengendap, Luna kembali memasuki ruangan kerja Irawan yang berada di lantai satu. Ruangan yang tidak pernah dimasukinya tersebut masih serapih dalam ingatannya beberapa hari yang lalu.
Padrenya selalu memiliki sebuah ruang kerja pribadi disetiap hunian yang mereka tinggali. Satu-satunya ruangan yang bahkan Luna sekalipun tidak diizinkan untuk mengaksesnya. Dan Luna tidak sekalipun melanggar untuk memasukinya.
Luna menggeser beberapa buku dan menemukan tombol yang ketika ditekan rak buku beserta dinding dibelakangnya bergeser. Kali ini Luna melewatkan komputer dan meja baca, sengaja langsung menyelinap masuk. Sekali lagi, Luna dibuat tidak bisa berkata-kata. Kepalanya blank saat menmukan berpuluh-puluh tabung obat dan beberapa rak dengan tabung reaksi baru.
Ada beberapa sentrifuge dan alat laboratorium lainnya. Yang membuat Luna shock adalah dirinya mengenali salah satu display tabung tersebut sebagai obat yang selama ini rutin dikonsumsi oleh Dewa. Jelas sudah alasan kenapa selama ini dirinya tidak pernah diperbolehkan untuk menebus sendiri obat Dewa.
Ternyata mereka benar-benar mengendalikan semuanya!
Masih tidak percaya Luna dengan tidak terkendali meraih keyboad yang terhubung dengan layar plasma diatas meja kerja. Tidak di password dan Luna langsung membuka inbox email.
Sesuai dugaan, dua puluh lima lembar pdf salinan data chart Dewa berikut dosis obat tercatat dengan begitu detail disana. Lebih dari itu, beberapa data bahkan memuat keterangan injeksi obat untuk observasi kesuburan.
Orang gila mana yang sampai melakukan analisis ereksi seperti ini?!
Luna tidak tahan membayangkan Dewa sengaja ditelanjangi dan diberi perangsang untuk melihat pengaruhnya terhadap proses ejakulasi lelaki tersebut. Bahkan dalam kondisi yang begitu kesakitan dan Dewa harus menerima semua tindakan tidak bermoral terhadap tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND
ChickLitLuna mencintai Dewa. Itu yang selama ini dirinya yakini dengan terus berada disisi sahabatnya yang tidak lagi memiliki keadaan fisik seperti dulu. Dewa sakit, dan Luna selalu mengusahakan yang terbaik sampai saat masa lalu kelam keduanya terungkap. ...